Karawang pada masa Islam juga merupakan 
kawasan penting. Pelabuhan Caravan yang sudah eksis sejak masa Kerajaan 
Sunda tampaknya terus berperan hingga masa Islam. Salah satu situs 
arkeologi dari masa Islam di Karawang adalah makam Syech Quro. Menurut tulisan yang tertera pada panil di depan komplek makam, Nama lengkap Syech Quro adalah Syech Qurotul A’in. Menurut naskah Purwaka Caruban Nagari, Syech Quro adalah seorang ulama yang juga bernama Syeh Hasanudin. Beliau adalah putra ulama besar Perguruan Islam dari negeri Campa yang bernama Syech Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syech Jamaluddin serta Syech Jalaluddin
 ulama besar Mekah. Pada tahun 1418 datang di Pelabuhan Muara Jati, 
daerah Cirebon. Tidak lama di Muara Jati, kemudian pergi ke Karawang dan
 mendirikan pesantren. Disebutkan bahwa letak bekas pesantren Syech Quro
 berada di Desa Talagasari, Kecamatan Talagasari, Karawang. Di 
Karawang dikenal sebagai Syech Quro karena beliau adalah seorang yang 
hafal Al-Quran (hafidz) dan sekaligus qori yang bersuara merdu. Sumber 
lain mengatakan bahwa Syech Quro datang di Jawa pada 1416 dengan 
menumpang armada Laksamana Cheng Ho yang diutus Kaisar Cina Cheng Tu 
atau Yung Lo (raja ketiga jaman Dinasti Ming). Tujuan utama perjalanan 
Cheng Ho ke Jawa dalam rangka menjalin persahabatan dengan raja-raja 
tetangga Cina di seberang lautan. Armada tersebut membawa rombongan 
prajurit 27.800 orang yang salah satunya terdapat seorang ulama yang 
hendak menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Mengingat Cheng Ho seorang
 muslim, permintaan Syech Quro beserta pengiringnya menumpang kapalnya 
dikabulkan. Syech Quro beserta pengiringnya turun di pelabuhan Karawang,
 sedangkan armada Cina melanjutkan perjalanan dan berlabuh di Pelabuhan 
Muara Jati Cirebon.
Syekh Quro atau Syekh Qurotul Ain 
Pulobata adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu Pesantren
 Quro di Tanjung Pura, Karawang pada tahun 1428.
Nama asli Syekh Quro ialah Syekh 
Hasanuddin atau ada pula yang menyebutnya Syekh Mursahadatillah. 
Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama) 
penganut madzhab Hanafi yang berasal dari Makkah, yang berdakwah di 
daerah Karawang dan diperkirakan datang ke Pulau Jawa melalui Champa 
atau kini Vietnam selatan.
Dalam menyampaikan ajaran Islam, Syekh 
Quro melakukannya melalui pendekatan yang disebut Dakwah Bil Hikmah, 
sebagaimana firman ALLAH dalam Al-Qur’an Surat XVI An Nahl ayat 125, 
yang artinya : “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) 
dan dengan pelajaran yang baik, dan bertukar pikiranlah dengan mereka 
dengan cara yang terbaik”.
Sebagian cerita menyatakan bahwa pada 
Tahun 1409, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan Laksamana 
Haji Sampo Bo untuk memimpin Armada Angkatan Lautnya dan mengerahkan 63 
buah Kapal dengan prajurit yang berjumlah hampir 25.000 orang untuk 
menjalin persahabatan dengan kesultanan yang beragama Islam.
Dalam Armada Angkatan Laut Tiongkok itu 
rupanya diikutsertakan Syekh Hasanuddin dari Campa untuk mengajar Agama 
Islam di Kesultanan Malaka, Sebab  Syekh Hasanuddin adalah putra seorang
 ulama besar Perguruan Islam di Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik 
yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin serta Syekh 
Jalaluddin, ulama besar Makkah.
Bahkan menurut sumber lain, garis keturunannya sampai kepada Sayyidina Husein bin Sayyidina Ali  KRW, menantu Rasulullah SAW.
Adapun pasukan angkatan laut Tiongkok 
pimpinan Laksamana Sam Po Bo lainnya ditugaskan mengadakan hubungan 
persahabatan dengan Ki Gedeng Tapa, Syahbandar Muara Jati Cirebon dan 
sebagai wujud kerjasama itu maka kemudian dibangunlah sebuah menara di 
pantai pelabuhan Muara Jati.
Dikisahkan pula bahwa setelah Syekh 
Hasanuddin menunaikan tugasnya di Malaka, selanjutnya beliau mengadakan 
kunjungan ke daerah Martasinga, Pasambangan, dan Jayapura melalui 
pelabuhan Muara Jati. Kedatangan ulama besar tersebut disambut baik oleh
 Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati putra bungsu Prabu Wastu 
Kancana, Syahbandar di Cerbon Larang (yang menggantikan Ki Gedeng 
Sindangkasih yang telah wafat). Ketika kunjungan berlangsung, masyarakat
 di setiap daerah yang dikunjungi merasa tertarik dengan ajaran Islam 
yang dibawa Syekh Quro, sehingga akhirnya banyak warga yang memeluk 
Islam.
Kegiatan penyebaran Agama Islam oleh 
Syekh Hasanuddin rupanya sangat mencemaskan penguasa Pajajaran waktu 
itu, yaitu Prabu Wastu Kencana atau Prabu Angga Larang yang menganut 
ajaran Hindu. Sehingga beliau diminta agar penyebaran agama tersebut 
dihentikan.
Oleh Syekh Hasanuddin perintah itu 
dipatuhi. Kepada utusan yang datang kepadanya ia mengingatkan, bahwa 
meskipun dakwah itu dilarang, namun kelak dari keturunan Prabu Angga 
Larang akan ada yang menjadi seorang Waliyullah. Beberapa saat kemudian 
Syekh Hasanuddin mohon diri kepada Ki Gedeng Tapa.
Sebagai sahabat, Ki Gedeng Tapa sendiri 
sangat prihatin atas peristiwa yang menimpa ulama besar itu, Sebab ia 
pun sebenarnya masih ingin menambah pengetahuannya tentang Agama Islam. 
Oleh karena itu, sewaktu Syekh Hasanuddin kembali ke Malaka, putrinya 
yang bernama Nyai Subang Karancang atau Nyai Subang Larang dititipkan 
ikut bersama ulama besar ini untuk belajar Agama Islam di Malaka.
Beberapa waktu lamanya berada di Malaka, 
kemudian Syekh Hasanuddin membulatkan tekadnya untuk kembali ke wilayah 
Kerajaan Hindu Pajajaran. Dan untuk keperluan tersebut, maka telah 
disiapkan 2 perahu dagang yang memuat rombongan para santrinya termasuk 
Nyai Subang Larang.
Sekitar tahun 1418 Masehi, setelah 
rombongan ini memasuki Laut Jawa, kemudian memasuki Muara Kali Citarum 
yang pada waktu itu ramai dilayari oleh perahu para pedagang yang 
memasuki wilayah Pajajaran. Selesai menyusuri Kali Citarum ini akhirnya 
rombongan perahu singgah di Pura Dalam atau Pelabuhan Karawang. 
Kedatangan rombongan ulama besar ini disambut baik oleh petugas 
Pelabuhan Karawang dan diizinkan untuk mendirikan musholla yang 
digunakan juga untuk belajar mengaji dan tempat tinggal.
Setelah beberapa waktu berada di 
pelabuhan Karawang, Syekh Hasanuddin menyampaikan dakwahnya di musholla 
yang dibangunnya dengan penuh keramahan. Uraiannya tentang agama Islam 
mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, karena ia bersama 
santrinya langsung memberi contoh. Pengajian Al-Qur’an memberikan daya 
tarik tersendiri, karena ulama besar ini memang seorang Qori yang merdu 
suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang 
secara sukarela menyatakan masuk Islam.
Berita tentang dakwah Syeh Hasanuddin 
(yang kemudian lebih dikenal dengan nama Syekh Quro) di pelabuhan 
Karawang rupanya telah terdengar kembali oleh Prabu Angga Larang, yang 
dahulu pernah melarang Syekh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala 
mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sehingga ia segera mengirim 
utusan yang dipimpin oleh sang putra mahkota yang bernama Raden Pamanah 
Rasa untuk menutup Pesantren Syekh Quro.
Namun tatkala putra mahkota ini tiba di 
tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu 
ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dikumandangkan oleh Nyai Subang Larang. 
Putra Mahkota (yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri
 Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi) itu pun mengurungkan niatnya 
untuk menutup Pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya
 untuk memperistri Nyi Subang Larang yang cantik itu dan halus budinya.
Lamaran tersebut rupanya diterima oleh 
Nyai Subang Larang dengan syarat mas kawinnya haruslah berupa “Bintang 
Saketi”, yaitu simbol dari “tasbih” yang berada di Negeri Makkah.
Sumber lain menyatakan bahwa hal itu 
merupakan kiasan bahwa sang Prabu haruslah masuk Islam, dan patuh dalam 
melaksanakan syariat Islam. Selain itu, Nyai Subang Larang juga 
mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak haruslah 
ada yang menjadi Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden 
Pamanah Rasa, sehingga beberapa waktu kemudian pernikahan pun 
dilaksanakan, bertempat di Pesantren Quro (atau Mesjid Agung sekarang) 
dimana Syekh Quro sendiri bertindak sebagai penghulunya.
Pernikahan di musholla yang senantiasa 
menganggungkan asma ALLAH SWT itu memang telah membawa hikmah yang 
besar, dan Syekh Quro memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh 
ajaran Islam ke keluarga Sang Prabu Siliwangi. Sebab para putra-putri 
yang dikandung oleh Nyai Subang Larang yang muslimah itu, memancarkan 
sinar IMAN dan ISLAM bagi umat di sekitarnya. Nyai Subang Larang sebagai
 isteri seorang raja memang harus berada di Istana Pakuan Pajajaran, 
dengan tetap memancarkan Cahaya Islamnya.
Putra pertama yang laki-laki bernama
1.      Raden Walangsungsang ( 1423 Masehi)setelah melewati usia remaja, maka bersama adiknya yang bernama
2.      Raden
 Rara Santang,( 1426 Masehi)meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran 
kemudian mendapat bimbingan dari ulama besar yang bernama Syekh Dzatul 
Kahfi di Paguron Islam di Cirebon. Setelah kakak beradik ini menunaikan 
ibadah Haji, maka Raden Walangsungsang menjadi Pangeran Cakrabuana 
memimpin pemerintahan Nagari Caruban Larang, Cirebon.
Sedangkan Raden Rara Santang sewaktu di 
Makkah diperistri oleh Sultan Mesir yang bernama Syarif Abdullah. Adik 
Raden Walangsungsang yang bungsu adalah laki-laki bernama
3.      Raden
 Sangara ( 1428 Masehi) atau Pangeran Kian Santang, pada masa dewasanya 
menjadi Muballigh untuk menyebarkan agama Islam di daerah Garut.
Adapun kegiatan Pesantren Quro yang 
lokasinya tidak jauh dari pelabuhan Karawang, rupanya kurang 
berkembangnya karena tidak mendapat dukungan dari pemerintah kerajaan 
Pajajaran. Hal tersebut rupanya dimaklumi oleh Syekh Quro, sehingga 
pengajian di pesantren agak dikurangi, dan kegiatan di masjid lebih 
dititik beratkan pada ibadah seperti shalat berjamaah.
Kemudian para santri yang telah 
berpengalaman disebarkan ke pelosok pedesaan untuk mengajarkan agama 
Islam, terutama di daerah Karawang bagian selatan seperti Pangkalan. 
Demikian juga ke pedesaan di bagian utara Karawang yang berpusat di Desa
 Pulo Kalapa dan sekitarnya.
Dalam semaraknya penyebaran agama Islam 
oleh Wali Songo, maka masjid yang dibangun oleh Syekh Quro, kemudian 
disempurnakan oleh para ulama dan Umat Islam yang modelnya berbentuk 
“joglo” beratap 2 limasan, hampir menyerupai Masjid Agung Demak dan 
Cirebon.
Pengabdian Syekh Quro dengan para santri 
dan para ulama generasi penerusnya adalah “menyalakan pelita Islam”, 
sehingga sinarnya memancar terus di Karawang dan sekitarnya.
Makam Syekh Quro terdapat di Dusun 
Pulobata, Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemahabang, Lokasi makam penyebar 
agama Islam tertua, yang konon lebih dulu dibandingkan Walisongo 
tersebut, berada sekitar 30 kilometer ke wilayah timur laut dari pusat 
kota Lumbung Padi di Jawa Barat itu.
Dalam sebuah dokumen surat masuk ke 
kantor Desa Pulokalapa tertanggal 5 November 1992, ditemukan surat 
keterangan bernomor P-062/KB/PMPJA/ XII/11/1992 yang dikirim Keluarga 
Besar Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII. Surat tersebut 
ditujukan kepada kepala desa, berisi mempertegas keberadaan makam Syekh 
Quro yang terdapat di wilayah Dusun Pulobata Desa Pulokalapa, Kecamatan 
Lemah Abang bukan sekedar petilasan Syekh Quro tetapi merupakan tempat 
pemakaman Syekh Quro.
Selain itu, di Dusun Pulobata juga 
terdapat satu makam yang diyakini warga Karawang sebagai makam Syekh 
Bentong atau Syekh Darugem, yang merupakan salah seorang santri utama 
Syekh Quro. Wallohu a’lam *** (Dirangkum dari berbagai sumber.). 

