Angklung menurut
mitologi Bali berasal dari kata "Angk" adalah angka (= nada ) dan
Lung artinya patah/ hilang . Angklung dapat juga dikatakan nada / laras
yang tidak lengkap sesuai dengan istilah Cumang Kirang ( Bahasa Bali )
yang artinya nada kurang / surupan 4 nada .
Terciptanya alat musik angklung yang terbuat dari bambu berasal dari
pandangan kehidupan masyarakat Sunda yang agraris dengan kehidupan yang
bersumber pada makanan pokok berupa padi ( pare ) ini dilahirkan dari
mitos pada Nyi Sri Pohaci sebagai Dewi Sri pemberi kehidupan ( hirup
hurip ) perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengelola Pertanian
(tetaten) terutama pertanian sawah dan ladang ( huma ) telah melahirkan
syair lagu sebagai penghormatan dan persembahan kepada Nyi Sri Pohaci
dan sebagai tolak bala agar bercocok tanam mereka tidak mendatangkan
malapetaka .
Dalam perkembangannya lagu-lagu tersebut di iringi dengan bunyi
tetabuhan yang terbuat dari batang-batang bambu yang dibuat sederhana
yang kemudian kita kenal dengan nama angklung dan calung
Dibeberapa Kecamatan Kab Bandung seperti Kecamatan Soreang dan
Kecamatan Pangalengan jenis kesenian ini dipergunakan untuk arak-arakan
upacara adat Nyungkruk Hulu Wotan ( menyelusuri hulu sungai ) dimana masyarakat membawa angklung dan dog-dog pergi ke hulu sungai membawa
makanan seperti nasi tumpeng, lauk pauk serta membawa sesajen untuk
upacara tersebut . Setelah sampai ke hulu sungai diadakan upacara
lengkap dengan sesajen dan dupa dan berdoa kepada nenek moyangnya sambil
menyembelih kambing hitam sebagai tumbal dan kepala kambing dikubur
bersama sesajen dengan dipimpin oleh sesepuh kampung setelah makan
bersama maka pulang sambil membunyikan angklung.
Angklung yang ada di Kabupaten Bandung terdiri dari 9 yaitu
- Singgul
- Jongjorang
- Ambrug
- Ambrug Penerus
- Pancer
- Pancer Penerus
- Engklong
- Roel
Jenis Angklung yang ada di Jawa Barat adalah sebagai berikut
- Angklung Baduy
- Angklung Dogdog Lojor
- Angklung Gubrag
- Angklung Badeng
- Angklung Buncis
- Angklung Bungko
- Angklung Soetigna