Foto : NUR AZIS (JABAR EKSPRES) |
Di kampung yang terdiri dari 250 kepala keluarga ini berkembang dua sistem kepercayaan
yaitu adat dan muslim. Namun yang masih memegang teguh kepercayaan adat hanya tinggal 30%.
Pada sistem adat ini yang menjadi budaya ialah sembahyang atau mengingat Tuhannya setiap
detik dan juga mempertahankan tradisi tidak makan beras padi. Tak heran jika masyarakat
adat tak ada satu orang pun yang pernah mencicipi nasi. Tapi bagi kepercayaan muslim,
dibebaskan mau mengkonsumsi nasi atau singkong, tergantung selera masing-masing. Bila
masyarakat adat mendatangi undangan pun, mereka tidak makan nasinya melainkan hanya
lauk-pauknya saja, karena itu yang dipegang teguh oleh masyarakatnya. Dan agar tradisi
ini tetap bertahan maka diadakan sosialisasi dari generasi ke generasi mengenai tradisi
makan beras singkong atau RASI.
RASI (Beras Singkong) dikenal juga dalam bahasa Sunda sangueun menjadi
makanan pokok kampung Cirendeu ini. Singkong yang ditanam bukan singkong seperti biasanya,
melainkan singkong yang mengandung racun sianida yang tinggi, yang bila di konsumsi
langsung rasa singkongnya sangat pahit. Apalagi jika singkong ini diberikan ke hewan ternak
seperti kambing bisa langsung keracunan atau bahkan mati. Oleh karena itu pengolahannya
tidak sembarangan, dan harus melalui beberapa cara.
Cara pengolahan RASI :
Singkong yang berumur sekitar 12 bulan di panen
Singkok yang sudah di panen itu lalu di kupas
Setelah di kupas, singkong ini lalu di cuci
Setelah di cuci bersih lalu di giling
Setelah halus lalu di peras dan diambil patinya (sarinya)
Hampas dikeringkan
Dan hasil dari patinya diendapkan satu hari yang bisa digunakan sebagai aci atau tepung
Cara Memasak RASI :
Tuangkan RASI
Air +/- 500ml
( RASI dan 500ml air diaduk sampai merata)
Dikukus selama +/- 15-20 menit.
( Tidak bisa dimasak menggunakan Magic Com)
Walaupun makanan pokok mereka RASI, bukan berarti perekonomian mereka
menengah ke bawah melainkan menengah ke atas. Karena setiap satu kepala keluarga memiliki
kebun singkong rata-rata 6 sampai 7 petak. Tapi mereka tidak punya sertifikat kepemilikan
tanah, mereka memegang prinsip bahwa lahan itu di bagi 3 yaitu untuk pemukiman, garapan,
dan tutupan (lahan yang tidak boleh digarap). Satu petaknya sekitar 1000 meter persegi.
Jadi ketika yang satu siap panen berumur 12 bulan, maka yang lainnya sekitar 3, 4, 6, 8
atau 10 bulan. Sehingga mereka tak pernah kekurangan singkong, dan aci dari singkong yang
di jual perpetaknya bisa sampai 3 juta rupiah. Atau jika ada pesanan RASI di daerah lain,
mereka bisa mengolahnya dan menjualnya 2500 per setengah kg. Tak hanya RASI, tapi hasil
olahan dari berbagai singkong juga tersedia seperti Opak, rangining, pangsit, dan kue-kue
lain.
Situasi pendidikan di Kampung Cirendeu ini hanya terdapat PAUD dan SD
saja, tetapi hal itu tidak mengurungkan niat generasi muda kampung Cireundeu untuk
menimba ilmu ke jenjang yang lebih tinggi, alhasil lulusan sarjanapun bisa mereka raih.
Kesenian di kampung ini beragama, diantaranya upacara
adat, seni musik tradisional sunda yang dimainkan minimal satu tahun
sekali. Dan tulisan sunda kuno yang dipertahankan sampai sekarang.
Menurut kementrian pertanian Indonesia, hanya Kampung Cirendeu inilah
yang masih menjadikan singkong sebagai makanan pokok. Disamping Irian dengan sagu nya dan
Madura dengan jagugnya tetapi daerah mereka sudah tidak menjadikan makanan tersebut
menjadi makanan pokok.
Narasumber : Kang Yana (Pegawai Balai Desa Kampung Cireundeu)
Reported by Fani Julia Putri dan Hanifah Gunawan
Sumber : sosiologi.upi.edu