Senin, 19 Januari 2015

Komunitas Taboo: “Belajar Dimana pun dan Kepada Siapa pun”

0 comments
 Gambar
Masuk ke Dago Pojok, Republika menyambangi suatu rumah yang berbeda dengan rumah-rumah lainnya. Rumah ini dicat berwarna –warni dan pada luar rumah terdapat tulisan dari kayu yang sudah diolah bertuliskan “Kampung Wisata”. Dinding tetangga-tetanggaya juga “dicorat-coreti” lukisan indah bermakna.
Pemilik rumah itu ialah Rahmat Jabaril, seorang seniman yang membuat komunitas Taboo dan Kampung Kreatif. Berdirinya komunitas Taboo diawali dengan isu pendidikan yang semakin mahal pada 2003. Komunitas ini digagas sebagai bentuk perlawanan kepada kapitalisme pendidikan. Rahmat Jabaril, inisiator komunitas Taboo, memilih Dago Pojok sebagai tempat proses belajar-mengajarnya.
Taboo sendiri berarti larangan nikah dalam satu keluarga. Maka, Rahmat beserta kawan-kawan mengartikan Taboo sebagai larangan untuk tidak belajar. Dasar filosofisnya Taboo ini ialah hakekat ilmu tidak absolute terselubung. Jadi dimana pun dan kepada siapa pun kita bisa belajar, termasuk kepada anak.
Gagasannya diawali dengan ide sekolah gratis bagi masyarakat. Pada pelaksanaannya, komunitas Taboo baru dapat melaksanakan kegiatan bimbingan belajar pada beberapa mata pelajaran. Seiring berjalannya waktu, komunitas Taboo berubah menjadi tempat penyetaraan status pendidikan: paket A, B, dan C.  Masyarakat yang ikut dalam penyetaraan status pendidikan ini pun tidak dipungut biaya dan bekerja sama dengan beberapa sekolah di Bandung.
“PBM (Proses Belajar-Mengajar) biasanya dilaksanakan tiap hari Minggu, dari jam 10 pagi sampai 4 sore,” tutur Rahmat. Adapun yang mengikuti penyetaraan status pendidikan ini pada umumnya berusia 25 tahun. “Biasanya yang ikut itu yang gak tamat SMP dan umur 25-an. Dulu pernah ada umur 56 ikut belajar,”ungkapnya.
Gambar
Melalui jaringan pengajarnya, Taboo meminta bantuan sampai ke kedutaan Jerman.  Sekarang, pemerintah sudah mendukung Taboo salah satunya dengan memberikan bantuan berupa buku-buku. “Kami dapat bantuan 1000 judul buku dari Perpustakaan Nasional. Sampai saat ini sudah terkumpul 6.000 buku, paling banyak itu buku agama,”lanjutnya.

Rahmat dan rekan-rekannya berusaha betul agar membaca menjadi budaya bagi masyarakat. Bahkan dulu ada tradisi di Taboo ini, pembaca diwajibkan meresensi bukunya sekaligus. Meskipun demikian, ia menyayangkan hilangnya  1.000 judul buku. “Banyak aktivis yang minjam dan gak dikembalikan. Ada sekitar 1.000 judul buku seperti buku politik, sastra, dan filsafat,” ucapnya. Menurutnya, anak-anak dan ibu-ibu jauh lebih sadar mengembalikan buku. Sumber : suciharlen.wordpress.com
Gambar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar