Masuk ke Dago Pojok, Republika menyambangi
suatu rumah yang berbeda dengan rumah-rumah lainnya. Rumah ini dicat
berwarna –warni dan pada luar rumah terdapat tulisan dari kayu yang
sudah diolah bertuliskan “Kampung Wisata”. Dinding tetangga-tetanggaya
juga “dicorat-coreti” lukisan indah bermakna.
Pemilik rumah itu ialah Rahmat Jabaril, seorang seniman yang membuat
komunitas Taboo dan Kampung Kreatif. Berdirinya komunitas Taboo diawali
dengan isu pendidikan yang semakin mahal pada 2003. Komunitas ini
digagas sebagai bentuk perlawanan kepada kapitalisme pendidikan. Rahmat
Jabaril, inisiator komunitas Taboo, memilih Dago Pojok sebagai tempat
proses belajar-mengajarnya.
Taboo sendiri berarti larangan nikah dalam satu keluarga. Maka,
Rahmat beserta kawan-kawan mengartikan Taboo sebagai larangan untuk
tidak belajar. Dasar filosofisnya Taboo ini ialah hakekat ilmu tidak
absolute terselubung. Jadi dimana pun dan kepada siapa pun kita bisa
belajar, termasuk kepada anak.
Gagasannya diawali dengan ide sekolah gratis bagi masyarakat. Pada
pelaksanaannya, komunitas Taboo baru dapat melaksanakan kegiatan
bimbingan belajar pada beberapa mata pelajaran. Seiring berjalannya
waktu, komunitas Taboo berubah menjadi tempat penyetaraan status
pendidikan: paket A, B, dan C. Masyarakat yang ikut dalam penyetaraan
status pendidikan ini pun tidak dipungut biaya dan bekerja sama dengan
beberapa sekolah di Bandung.
“PBM (Proses Belajar-Mengajar) biasanya dilaksanakan tiap hari
Minggu, dari jam 10 pagi sampai 4 sore,” tutur Rahmat. Adapun yang
mengikuti penyetaraan status pendidikan ini pada umumnya berusia 25
tahun. “Biasanya yang ikut itu yang gak tamat SMP dan umur 25-an. Dulu pernah ada umur 56 ikut belajar,”ungkapnya.
Melalui jaringan pengajarnya, Taboo meminta bantuan sampai ke
kedutaan Jerman. Sekarang, pemerintah sudah mendukung Taboo salah
satunya dengan memberikan bantuan berupa buku-buku. “Kami dapat bantuan
1000 judul buku dari Perpustakaan Nasional. Sampai saat ini sudah
terkumpul 6.000 buku, paling banyak itu buku agama,”lanjutnya.
Rahmat dan rekan-rekannya berusaha betul agar membaca menjadi budaya
bagi masyarakat. Bahkan dulu ada tradisi di Taboo ini, pembaca
diwajibkan meresensi bukunya sekaligus. Meskipun demikian, ia
menyayangkan hilangnya 1.000 judul buku. “Banyak aktivis yang minjam
dan gak dikembalikan. Ada sekitar 1.000 judul buku seperti buku
politik, sastra, dan filsafat,” ucapnya. Menurutnya, anak-anak dan
ibu-ibu jauh lebih sadar mengembalikan buku. Sumber : suciharlen.wordpress.com