Cireundeu berasal dari nama “pohon reundeu”, karena sebelumnya di
kampung ini banyak sekali populasi pohon reundeu. pohon reundeu itu
sendiri ialah pohon untuk bahan obat herbal. Maka dari itu kampung ini
di sebut Kampung Cireundeu. Kampung Adat Cireundeu terletak di Kelurahan
Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Terdiri dari 50 kepala keluarga
atau 800 jiwa, yang sebagia besar bermata pencaharian bertani ketela.
Kampung Adat Cireundeu sendiri memiliki luas 64 ha terdiri dari 60 ha
untuk pertanian dan 4 ha untuk pemukiman. Sebagian besar penduduknya
memeluk dan memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan hingga saat ini.
Selalu konsisten dalam menjalankan ajaran kepercayaan serta terus
melestarikan budaya dan adat istiadat yang telah turun-temurun dari
nenek moyang mereka. Maka pemerintah menetapkan Kampung Adat Cireundeu
sebagai kampung adat yang sejajar dengan Kampung Naga (Tasikmalaya),
Kaepuhan Cipta Gelar (Banten, Kidul, Sukabumi), Kampung Dukuh (Garut),
Kampung Urug (Bogor), Kampung Mahmud (Bandung), dan kampung adat
lainnya.
- Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk masyarakat adat Cireundeu khususnya.
- Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru. Luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar.
Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yaitu hutan yang dapat
digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu. Biasanya ditanami
oleh jagung, kacang tanah, singkon atau ketela, dan umbi-umbian.
Kepercayaan Masyarakat
Kepercayaan masyarakat kampung Cireundeu berawal dari jaran Madrais
ini di bawa oleh Pangeran Madrais pada tahun 1918 ke Kampung Cireundeu
yang mengajarkan falsafah dan ajaran moral tentang bagaimana membawa
diri dalam kehidupan. Hinggga saat ini masyarakat adat Cireudeu masih
teguh memeluk ajaran tersebut meskipun telah berpuluh-puluh tahun,
mereka salalu taat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Agama Djawa Sunda (ADS) nama lain dari ajaran Madrais ini merupakan
kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Cigugur,
Kabupaten Kuningan. Abdul Rozak seorang peneliti kepercayaan sunda,
menyatakan bahwa agama ini ialah bagian dari agama Buhun. Agam Djawa
Sunda (ADS) atau Sunda Wiwitan awal berkembang di Cireundeu adalah
setelah pertemuan H. Ali kakek dari Abah Emen yang sekarang menjabat
sebagai Ketua Adat atau Sesepuh ini dengan Pangeran Madrais pada tahun
1930-an. Pada tahun 1938 Pangeran Madrais pernah sempat tinggal menetap
di Kampung Adat Cireundeu.
Pangeran Madrais yang biasa dipanggil Kiai Madrais adalah keturunan
Kesultanan Gebang, yaitu sebuah kesultanan di wilayah Cirebon bagian
Timur. Ketika pemerintah Hindia-Belanda menyerang kesultanan Gebang,
Pangeran Madrais diungsikan ke daerah Cigugur, Kuningan. Pangeran
Madrais juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibassa yang dibesarkan
dalam tradisi Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritual. Bahkan
Pangeran Madrais ini pernah mendirikan pesantren sebagai pusat ajaran
agama Islam. Namun kemudian Pangeran Madrais mengembangkan pemahaman
yang digalinya dari tradisi masyarakat sunda agraris. Menurut masyarakat
adat Cireundeu yang mempunyai dua pantangan, sebagai berikut:
- Jangan memakan keringat orang lain, ini berarti kita tidak boleh memakan hak orang lain seperti merampas, merampok, mencuri atau menyakiti orang lain.
- Tidak boleh memaksa orang lain untuk menganut aliran kepercayaan yang mereka peluk.
Sedangkan hal-hal yang harus dilakukan, yaitu:
- Saur kudu dibubut (bercerita/ berbicara harus hati-hati dan harus pada tempat yang sesuai).
- Basa kedah dihampelas (berbicara dengan baik dan sopan).
- Gotong royong.
- Toleransi agama.
Keadaan Sosial
Masyarakat Kampung Adat Cireundeu memiliki keadaan sosial yang
terbuka dengan masyarakat di luar kampung. Terbukti dari sistem
kekerabatan atau sistem perkawinan dan mata pencaharian masyarakat
Kampung Adat Cireundeu sebagian besar bercocok tanam. Kebanyakan
masyarakat Cireundeu tidak suka merantau atau berpisah dengan
orang-orang sekerabatnya. Selain itu, pola pemukiman pada masyarakat
adat Cireundeu memiliki pintu samping yang harus menghadap ke arah
timur, ini bertujuan supaya cahaya matahari masuk kedalam rumah. Keadaan
sosial ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu:
1. Sistem Kekerabatan
Sistem keluarga atau kekerabatan dalam suku Sunda bersifat birateral
yaitu garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam
keluarga Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan
kekeluargaan yang kuat dalam suku Sunda sangat mempengaruhi dalam adat
istiadat, dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu
sebagai istilah-istilah untuk menunjukan hubungan kekerabatan.
Contohnya, pertama, saudara yang berhubungan untuk generasi tujuh ke
bawah atau vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut/ piut, bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gatungsiwur.
Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti
anak dari paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak
saudara dari piut. Ketiga saudara yang berhubungan tidak
langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak dari kakak,
keponakan anak dari adik, dan seterusnya. Adapula istilah sistem
kekerabatan lainnya berdasarkan ego, contohnya Ibu dapat disebut Ema, Ma. Sedangkan Bapak disebut Bapa, Apa, Pa. untuk Kakak aki-laki disebut Akang, kang dan untuk Kakak perempuan disebut Ceu, Eceu. Sistem kekerabatan ini merupakan simbol dari tali silaturahmi khas Sunda (pancakaki)
ini sesuai dengan ajaran agama yang mengajarkan umatnya untuk
menyebarkan keselamatan. Silaturahim juga merupakan salah satu penentu
masuk surga dan terciptanya keharmonisan interaksi.
2. Mata Pencaharian Masyarakat
Mayoritas penduduk Kampung Adat Cireundeu bermata pencaharian bertani
ketela dan umbi-umbian. Supaya setiap bulan dapat memanen ketela, maka
pola tanam disesuaikan dengan usai panen. Setiap masyarakat memiliki 3
hingga 5 petak kebun ketela yang berbeda-beda masa tanamnya. Setiap
petak kebun dibuat berbeda masa tanamnya, sehingga pada tiap petaknya
akan berbeda masa panennya. Maka sepanjang tahun ladang mereka selalu
menghasilkan ketela. Masyarakat Kampung Cireundeu memanfaatkan ketela
mulai dari akarnya hingga daunnya, seperti akarnya dapat diolah menjadi
rasi (beras singkong), ranggening, opak, cimpring, peyeum atau tape, dan
aneka kue berbahan dasar ketela. Batangnya dapat dimanfaatkan menjadi
bibit, daunya dapat di jadikan lalapan atau disayur juga dapat dijadikan
makanan ternak. Terakhir kulitnya dapat dibuat menjadi makanan olahan,
biasanya dijadikan sayur lodeh atau dendeng kulit ketela. Selain untuk
dikonsumsi sendiri hasilnya juga dapat dijual pada wisatawan sebagai
buah tangan.
Oleh-Oleh Khas Cireundeu
Masyarakat Kampung Cireundeu memanfaatkan ketela mulai dari akarnya
hingga daunnya, seperti akarnya dapat diolah menjadi rasi (beras
singkong), ranggening, opak, cimpring, peyeum atau tape, dan aneka kue
berbahan dasar ketela. Batangnya dapat dimanfaatkan menjadi bibit,
daunya dapat di jadikan lalapan atau disayur juga dapat dijadikan
makanan ternak. Terakhir kulitnya dapat dibuat menjadi makanan olahan,
biasanya dijadikan sayur lodeh atau dendeng kulit ketela. Selain untuk
dikonsumsi sendiri hasilnya juga dapat dijual pada wisatawan sebagai
buah tangan.
Aksesibilitas
Aksesibilitas dapat di tempuh sekitar 1 jam 30 menit dari alun-alun
Kota Cimahi, sedangkan dari alun-alun Bandung bisa menghabiskan waktu
tempuh 2 jam. Berikut ini angkutan umum yang dapat digunakan dari
alun-alun Kota Cimahi, yaitu:
- Naik angkutan umum jurusan Cimahi-Leuwi Panjang atau Cimahi-Stasiun Hall, kemudian turun di bawah jembatan Cimindi atau pertigaan Cibeureum.
- Lanjut dengan naik angkutan warna hijau-kuning dengan jurusan Cimindi-Cipatik turun di bunderan Leuwigajah.
- Kemudian naik angkutan berwarna biru langit dengan jurusan Cimahi-Leuwigajah-Cangkorah turun di pertigaan ke arah Cireundeu.
- Terakhir, naik angkutan motor (ojeg) hingga pintu gerbang Kampung Adat Cireundeu.
Sumber : infocmh.blogspot.com