IKET DALAM SEJARAH
Iket merupakan jenis tutup kepala tradisional yang terbuat dari kain
dan dipakai dengan teknik tertentu seperti dilipat, dilipit, dan
disimpulkan sebagai pengikat akhir. Iket dipakai oleh pria dari berbagai
kalangan baik ulama, penghulu, pegawai pemerintahan, masyarakat
golongan bawah, mulai dari anak usia sekolah sampai orang tua, dan juga
bangsawan.
Iket disebut juga totopong yang terbuat dari kain atau boéh atau
mori. Totopong merupakan bentuk iket yang lebih rapi. Dulu boéh
diartikan kain. Ada yang disebut boéh alus (kain halus), boéh siang
(kain merah) dan boéh larang atau kain yang mengandung kekuatan.
Sekarang kata boéh berarti kain putih, yang menurut kamus Umum Basa
Sunda [4] boéh nyaeta lawon bodas tina kapas (boéh adalah kain putih
dari kapas). Kain yang lebih halus dari boéh disebut kaci. Kata boéh
sekarang ini mengalami penyempitan makna menjadi kain putih yang dipakai
untuk membungkus mayit atau mayat atau yang dikenal dengan kain kafan.
Kain untuk iket Sunda selain menggunakan batik, pada jaman dahulu
sebelum mengenal batik menggunakan kain polos yang disebut hideungan
(kain berwarna hitam) yang dikenal dengan nama Sandelin. Kain ini dapat
pula dipakai untuk celana panjang, kamprét, dan calana pangsi.
Sejarah Mencatat bahwa keberadaan iket menjadi warisan kebudayaan
urang sunda. Iket atau totopong menjadi ke’arifan lokal kerajaan sunda
wiwitan / sunda buhun. Meski di daerah (wewengkon) lain memang dikenal
sejenis iket seperti Udeng yang ada di Bali, Kemudian di Padang dan
masih banyak lagi sesuai dengan kebudayaan nya masing-masing.Pakar
sejarah menyebutkan bahwa ternyata wilayah Sunda itu berada dari
Dataran tinggi Gunung sunda yang berada di India sampai ke Australia
sebelum akhirnya terpecah menjadi beberapa pulau kecil. Maka dari itu
tidak heran jika disetiap wilayah memiliki iket dengan khasnya
masing-masing namun ada pula kemripan-kemiripan nya khususnya di
nusantara.
Perbedaan kata Iket dan Totopong mencakup dimana suatu daerah
menyebutnya seperti di Cianjur menyebut Totopong kemudian Ciamis . namun
secara umum urang sunda menyebut nya dengan Iket.
Iket sebenarnya umum digunakan sebagai pelngkap busana peria namun
sekarang karena sudah mendapat suntikan kebudayaan luar dampak dari
modernisasi sudah sering sekali elihat masyarakat umum mempergunakan
iket. Sehingga iket lebih sering kita temui biasa dipakai Sesepuh –
sesepuh adat sebuah wilayah dan Dalem di kraton yang sejak dahulu sudah
menggunakannya. atau di wiayah kanekes (baduy dalam) yang masih menganut
sunda wiwitan.
WARUGA (BENTUK/ORGAN) IKET
Iket bukanlah hanya Saceundeum Kaen Sehelai kain, namun luas dari itu iket memiliki ciri dan khas tersendiri berbeda dengan Sal atau penutup kepala lain sejenisnya.
Iket yang Organ-organ dari iket itu sendiri memiliki corak atau Motif
yang berbeda-beda. Iket terbentuk dari Kain Persegi empat berukuran
dengan panjang dan lebar 120 cm atau 90 cm. Terdiri dari tiga bagian
yaitu Pager/gugunungan, Waruga dan Modang. Pager atau Gugungan yaitu garis pinggir pembatas yang biasaya bermotif / gambar Gunung dan garis-garis menyerupai pager, sedangkan Waruga
yaitu corak motif atau gambar yang biasanya disesuaikan dengan
kebudayaannya seperti ada yang bermotif burung, bunga, atau bahkan khas
dari suatu daerah seperti motif Maos,Mamaos,Maenpo yang menjadi khas
iket dari kabupaten Cianjur. Kemudian yang disebut dengan Modang
yaitu garis persegi empat yang ada ditengah iket, biasanya berwarna
putih, merah dan kuning kecoklatan yang memiliki arti tersendiri.
Ada beberapa pendapat mengenai iket dengan bentuk persegi tiga yang
sering kita temui dipasaran umumnya bahwa sebagian tokoh adat sunda
tidak membolehkan iket persegi empat itu dipotong menjadi persegi empat
karena memotong makna dari iket lebih jauh dari itu bahkan menghina
iket. Namun sebagian lagi membolehkan dengan alasan tesendiri.
MAKNA DA NILAI FILOSOFIS DALAM IKET
Berdasarkan Pendapat Ketua Mupusti
Totopong Cianjur (Kang Gelar) dalam sebuah pertemuan Ngamumule Budaya
sunda bahwa dahuu iket merupakan Warisan Orang tua kepada anaknya yang
dibuat sendiri karena memiliki do’a dibalik motif dan corak pada iket
itu sisi agama yang digambarkan dalam iket.
Iket dikenal dengan Opat Kalima Panceryaitu
karena Iket Memiliki empat sisi dan satu Persegi Empat di tengah Iket
yang menggambarkan Acining (sumber) jati diri yang ada pada setiap diri
kita yaitu Api, Air, Angin dan Udara serta Satu lagi yaitu Diri.
Disini lah kita dapat melihat bahwa Iket memiliki maksud dan nilai
filosofi sendiri selain keindahan dan fungsi menjukan kedudukan sosial
seseorang. Iket bermaksud mengingatkan kita akan jati diri kita adanya
Api, seumber amarah dan keganasan maka kita harus mampu membendamnya,
Air Selalu Rendah Hati Melihat Setiap yang berada dibawah kita, Udara
terasa meskipun tidak terlihat memberikan kesejukan kepada sesama, tanah
Asal mula penciptaan kita dari Tanah serta Diri kita lebuh ke hhubungan
kita dengan sang pencipta. Dari sini dapat kita simpulka bahawa iket
mengandung maksud mengikat, mengingatkan akan kewajiban kepada sang
pencipta atau dengan kata lain hablum miallah (hubungan dengan allah) ,
dan empat acining untuk kehidupan dengan sesama dikenal dengahablum
minannas (hubungan dengan manusia/makhluk). Itulah kenapa sebabnya
keberadaan iket sekarang ini sangat dibutuhkan kembali dengan
sosilaisasi kepada seluruh masyarakat khususnya wilayah jawa barat
karena disatu sisi dengan kembalinya berkembang Pelestarian Budaya sunda
maka akan mengukuhkan kembali jati diri warisan karuhun urang.
Bentuk dan Cara Memakai Iket
Berdasarkan data yang ada kurang lebih tercatat sekitar 22 Jenis
Iketan Buhun / dahulu dan 22 Jenis Iketan Kiwari/ sekarang dan ini masih
terus berkembang dikarenakan kreatifitas dan kehendak para pelestari
budaya sunda khususnya bidang iket (Totopong).
Dahulu Jenis Iket baik Motif maupun warna dibedakan berdasarkan
status sosial seseorang. Begitu pula jenis iketan nya membedakan maksud,
makna dan tujuan yang tersirat dar iketan itu sendiri . sebagai contoh :
Iket Buhun (Dahulu)
- Barangbang Semplakyaitu Pelepah Pohon Kelapa yang sudah kering yang patah namun masih menempel. Jenis Iketan ini biasa diperguanakan oleh Jawara namun untuk sekarang luas dipergunakan oleh masyarakat biasa dipergunakan dalam pementasan seni pencak silat. Dll
- Parengkos Jengkol artinya parengkos tertutup, terbungkus sedangkan jengkol adalah buah jengkol bau namun tetap sering digemari. Iket jenis ini biasa dipergunakan oleh para nigrat dengan ciri lain terdapat cula / patuk wali pada bagian kening seperti segita terbalik.
- Julang Ngapak yaitu Julang berasal dari nama se-ekor burung , ngapak yaitu sayapnya yang mengepakan sayap karena bentuk dari iket ini menyerupai burung julang yang sedang terbang mengepakan sayapnya. Ike jenis ini umum dipergunakan pada tokoh lengser (penyambut tamu) dalam acara-acara adat seperti upacara adat perkawinan khas sunda.
- Dan masih banyak lagi jenis iketan buhun (dahulu) yang lainnya seperti Tug liwet/Tutup Liwet, Parengkos Nangka, Koncer. Kebo Ngencar, Lohe’n, Kebo Modol, Kole Nyangsang, Porteng, Rupa Iket Adat Kampung Naga, Udeng Ciptagelar dan masih banyak lagi yang semuanya diambil dari simbol-simbol alam
Iket Kiwari (Sekarang)
Iket kiwari yaitu jenis iketan yang ada pada zaman sekarang sebagai
betuk apresiasi para budayawan sunda mengembangkan penemuan nya dalam
bidang iket seperti jenis iket Mahkuta Wangsa yang sering kita temui
yaitu melambangkan Tri Tangtu yaitu Bumi, Negri dan Diri
Ketika Iket yang berbentuk Persegi Empat dilipat menjadi dua sehingga
membentuk Persegi tiga maka akan berbentuk seperti gambar diatas, makna
yang tersira pada iket ini mengingatkan kita akan tiga hal penting
yaitu keselarasan mengendalikan Diri, Bumi dan Negeri.
(sumber : ukmpurba.wordpress.com)