Minggu, 22 Februari 2015

IKET (TOTOPONG) DALAM BENTANGAN SEJARAH DENGAN MAKNA DAN FILOSOFI URANG SUNDA

0 comments


IKET DALAM SEJARAH
Iket merupakan jenis tutup kepala tradisional yang terbuat dari kain dan dipakai dengan teknik tertentu seperti dilipat, dilipit, dan disimpulkan sebagai pengikat akhir. Iket dipakai oleh pria dari berbagai kalangan baik ulama, penghulu, pegawai pemerintahan, masyarakat golongan bawah, mulai dari anak usia sekolah sampai orang tua, dan juga bangsawan.
Iket disebut juga totopong yang terbuat dari kain atau boéh atau mori. Totopong merupakan bentuk iket yang lebih rapi. Dulu boéh diartikan kain. Ada yang disebut boéh alus (kain halus), boéh siang (kain merah) dan boéh larang atau kain yang mengandung kekuatan. Sekarang kata boéh berarti kain putih, yang menurut kamus Umum Basa Sunda [4] boéh nyaeta lawon bodas tina kapas (boéh adalah kain putih dari kapas). Kain yang lebih halus dari boéh disebut kaci. Kata boéh sekarang ini mengalami penyempitan makna menjadi kain putih yang dipakai untuk membungkus mayit atau mayat atau yang dikenal dengan kain kafan. Kain untuk iket Sunda selain menggunakan batik, pada jaman dahulu sebelum mengenal batik menggunakan kain polos yang disebut hideungan (kain berwarna hitam) yang dikenal dengan nama Sandelin. Kain ini dapat pula dipakai untuk celana panjang, kamprét, dan calana pangsi.
Sejarah Mencatat bahwa keberadaan iket menjadi warisan kebudayaan urang sunda. Iket atau totopong menjadi ke’arifan lokal kerajaan sunda wiwitan / sunda buhun. Meski di daerah (wewengkon) lain memang dikenal sejenis iket seperti Udeng yang ada di Bali, Kemudian di Padang dan masih banyak lagi sesuai dengan kebudayaan nya masing-masing.Pakar sejarah menyebutkan bahwa ternyata wilayah Sunda itu berada dari Dataran tinggi Gunung sunda yang berada di India sampai ke Australia sebelum akhirnya terpecah menjadi beberapa pulau kecil. Maka dari itu tidak heran jika disetiap wilayah memiliki iket dengan khasnya masing-masing namun ada pula kemripan-kemiripan nya khususnya di nusantara.
Perbedaan kata Iket dan Totopong mencakup dimana suatu daerah menyebutnya seperti di Cianjur menyebut Totopong kemudian Ciamis . namun secara umum urang sunda menyebut nya dengan Iket.
Iket sebenarnya umum digunakan sebagai pelngkap busana peria namun sekarang karena sudah mendapat suntikan kebudayaan luar dampak dari modernisasi sudah sering sekali elihat masyarakat umum mempergunakan iket. Sehingga iket lebih sering kita temui biasa dipakai Sesepuh – sesepuh adat sebuah wilayah dan Dalem di kraton yang sejak dahulu sudah menggunakannya. atau di wiayah kanekes (baduy dalam) yang masih menganut sunda wiwitan.

WARUGA (BENTUK/ORGAN) IKET
            Iket bukanlah hanya Saceundeum Kaen Sehelai kain, namun luas dari itu iket memiliki ciri dan khas tersendiri berbeda dengan Sal atau penutup kepala lain sejenisnya.
Iket yang Organ-organ dari iket itu sendiri memiliki corak atau Motif yang berbeda-beda. Iket terbentuk dari Kain Persegi empat berukuran dengan panjang dan lebar 120 cm atau 90 cm. Terdiri dari tiga bagian yaitu Pager/gugunungan, Waruga dan Modang. Pager atau Gugungan yaitu garis pinggir pembatas yang biasaya bermotif / gambar Gunung dan garis-garis menyerupai pager, sedangkan Waruga yaitu corak motif atau gambar yang biasanya disesuaikan dengan kebudayaannya seperti ada yang bermotif burung, bunga, atau bahkan khas dari suatu daerah seperti motif Maos,Mamaos,Maenpo yang menjadi khas iket dari kabupaten Cianjur. Kemudian yang disebut dengan Modang yaitu garis persegi empat yang ada ditengah iket, biasanya berwarna putih, merah dan kuning kecoklatan yang memiliki arti tersendiri.
Ada beberapa pendapat mengenai iket dengan bentuk persegi tiga yang sering kita temui dipasaran umumnya bahwa sebagian tokoh adat sunda tidak membolehkan iket persegi empat itu dipotong menjadi persegi empat karena memotong makna dari iket lebih jauh dari itu bahkan menghina iket. Namun sebagian lagi membolehkan dengan alasan tesendiri.

MAKNA DA NILAI FILOSOFIS DALAM IKET
            Berdasarkan Pendapat Ketua Mupusti Totopong Cianjur (Kang Gelar) dalam sebuah pertemuan Ngamumule Budaya sunda bahwa dahuu iket merupakan Warisan Orang tua kepada anaknya yang dibuat sendiri karena memiliki do’a dibalik motif dan corak pada iket itu sisi agama yang digambarkan dalam iket.
Iket dikenal dengan Opat Kalima Panceryaitu karena Iket Memiliki empat sisi dan satu Persegi Empat di tengah Iket yang menggambarkan Acining (sumber) jati diri yang ada pada setiap diri kita yaitu Api, Air, Angin dan Udara serta Satu lagi yaitu Diri.

Disini lah kita dapat melihat bahwa Iket memiliki maksud dan nilai filosofi sendiri selain keindahan dan fungsi menjukan kedudukan sosial seseorang. Iket bermaksud mengingatkan kita akan jati diri kita adanya Api, seumber amarah dan keganasan maka kita harus mampu membendamnya, Air Selalu Rendah Hati Melihat Setiap yang berada dibawah kita, Udara terasa meskipun tidak terlihat memberikan kesejukan kepada sesama, tanah Asal mula penciptaan kita dari Tanah serta Diri kita lebuh ke hhubungan kita dengan sang pencipta. Dari sini dapat kita simpulka bahawa iket mengandung maksud mengikat, mengingatkan akan kewajiban kepada sang pencipta atau dengan kata lain hablum miallah (hubungan dengan allah) , dan empat acining untuk kehidupan dengan sesama dikenal dengahablum minannas (hubungan dengan manusia/makhluk). Itulah kenapa sebabnya keberadaan iket sekarang ini sangat dibutuhkan kembali dengan sosilaisasi kepada seluruh masyarakat khususnya wilayah jawa barat karena disatu sisi dengan kembalinya berkembang Pelestarian Budaya sunda maka akan mengukuhkan kembali jati diri warisan karuhun urang.
Bentuk dan Cara Memakai Iket
Berdasarkan data yang ada kurang lebih tercatat sekitar 22 Jenis Iketan Buhun / dahulu dan 22 Jenis Iketan Kiwari/ sekarang dan ini masih terus berkembang dikarenakan kreatifitas dan kehendak para pelestari budaya sunda khususnya bidang iket (Totopong).
Dahulu Jenis Iket baik Motif maupun warna dibedakan berdasarkan status sosial seseorang. Begitu pula jenis iketan nya membedakan maksud, makna dan tujuan yang tersirat dar iketan itu sendiri . sebagai contoh :
Iket Buhun (Dahulu)
  1. Barangbang Semplakyaitu Pelepah Pohon Kelapa yang sudah kering yang patah namun masih menempel. Jenis Iketan ini biasa diperguanakan oleh Jawara namun untuk sekarang luas dipergunakan oleh masyarakat biasa dipergunakan dalam pementasan seni pencak silat. Dll
  2. Parengkos Jengkol artinya parengkos tertutup, terbungkus sedangkan jengkol adalah buah jengkol bau namun tetap sering digemari. Iket jenis ini biasa dipergunakan oleh para nigrat dengan ciri lain terdapat cula / patuk wali pada bagian kening seperti segita terbalik.
  3. Julang Ngapak yaitu Julang berasal dari nama se-ekor burung , ngapak yaitu sayapnya yang mengepakan sayap karena bentuk dari iket ini menyerupai burung julang yang sedang terbang mengepakan sayapnya. Ike jenis ini umum dipergunakan pada tokoh lengser (penyambut tamu) dalam acara-acara adat seperti upacara adat perkawinan khas sunda.
  4. Dan masih banyak lagi jenis iketan buhun (dahulu) yang lainnya seperti Tug liwet/Tutup Liwet, Parengkos Nangka, Koncer. Kebo Ngencar, Lohe’n, Kebo Modol, Kole Nyangsang, Porteng, Rupa Iket Adat Kampung Naga, Udeng Ciptagelar dan masih banyak lagi yang semuanya diambil dari simbol-simbol alam

Iket Kiwari (Sekarang)
Iket kiwari yaitu jenis iketan yang ada pada zaman sekarang sebagai betuk apresiasi para budayawan sunda mengembangkan penemuan nya dalam bidang iket seperti jenis iket Mahkuta Wangsa yang sering kita temui yaitu melambangkan Tri Tangtu yaitu Bumi, Negri dan Diri
Ketika Iket yang berbentuk Persegi Empat dilipat menjadi dua sehingga membentuk Persegi tiga maka akan berbentuk seperti gambar diatas, makna yang tersira pada iket ini mengingatkan kita akan tiga hal penting yaitu keselarasan mengendalikan Diri, Bumi dan Negeri.
(sumber :  ukmpurba.wordpress.com)