Oleh: Muhamad Luthfi
DARI gunung Aseupan Gegerbitung Kabupaten Sukabumi,
nada keprihatinan pada kondisi faktual entitas Sunda tercurah. Urang
Sunda sebagai penghuni tanah subur loh jinawi ini, nyaris tak lagi mampu
merawat dan memelihara anugerah yang diterimanya.
Nyata terlihat, kerusakan terjadi di sepanjang wilayah yang
membentang di seluruh tumpah tanah parahyangan. Kerusakan itupun tidak
hanya pada struktur lingkungan geografis, namun juga terjadi pada budaya
dan karakter yang membungkus identitas kasundaannya.
Sebelum kerusakan itu menghancurkan semua segi kehidupan kasundaan,
Komunitas Manusia Nol berusaha kembali menyadarkan manusia Sunda pada
hakikat jati dirinya. Sunda tak sekadar entitas, melainkan budaya yang
hidup dalam peradaban yang mashur.
”Kini semua itu nyaris hilang. Manusia Sunda sudah tidak lagi bangga
pada budayanya sendiri,” jelas Ketua Komunitas Manusia Nol, Ilham Karim
dengan nada penuh keprihatinan. Padahal, Sunda bermakna sangat tinggi.
Sunda, kutip Ilham, adalah spirit, nur, dan ruh.
Ciri hakiki kasundaan terletak pada budaya. Manakala budaya tak lagi
menjadi dasar tindak-tanduk yang melekat, secara meyakinkan manusia
Sunda pun hilang. Sebagai gantinya, budaya global yang berakar pada
khasanah budaya asing tidak mampu terserap secara utuh.
”Maka kita tanya diri kita masing-masing, masihkah urang Sunda ini
benar-benar nyunda? Beratkah memikul identitas kasundaan? Saya pikir
tidak, paham komunitas Manusia Nol, Insya Allah akan menuntun pada jati
diri yang melekat pada unsur kasundaan,” jelas Ilham.(tm)
sumber : sepertiini.com