Senin, 02 Februari 2015

Yang Muda Bangga Sunda

0 comments
Di banyak tempat, juga di kaus sering ditemukan tulisan berisi idiom-idiom fanatik tentang kesundaan. “Sunda nu Aing” atau “Aing urang Sunda” merupakan contoh fenomena itu. Begitu juga di internet. Anak muda Sunda tidak hanya berani berkomunikasi menggunakan bahasa Sunda, tetapi juga bangga menunjukkan identitas kesundaannya. Lalu secara politis, Pemerintah Kota Bandung Menetapkan penggunaan bahasa Sunda setiap Rabu pada semua acara resmi.
KENYATAAN seperti itu, menjadi potret anak muda Sunda saat ini. Komunitas-komunitas yang mengusung nama Sunda pun banyak bermunculan. Menurut catatan Dadan Sutisna, sejak tahun 1950 sampai sekarang sedikitnya ada 1.000 organisasi yan membawa nama Sunda.
Dadan Sutisna dikenal sebagai Ketua Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PPSS). Ia juga penemu software penulisan aksara Sunda di internet. Hasil temuannya itu telah dibukukan.
Kini, Dadan sedang membuat semacam toefl bahasa Sunda di internet. Bila pengunjung mauk ke laman ini, ia dapat memililh materi ajar bahasa Sunda, mengevaluasinya, dan memperoleh nilai dari toefl yang telah diikutinya itu. Cara ini merupaan bentuk pembelajaran paperless dengan sasaran tak terbatas ruang dan waktu.
Untuk menjaga komunikasi dengan masyarakat, Dadan juga sedang menyiapkan laman baru semacam kamus bahasa Sunda di dunia maya. Nantinya, kamus ini menjadi tempat tanya jawab tentang bahasa Sunda di website. Ide ini muncul karena masih banyak orang tua yang ingin bertanya tentang bahasa Sunda untuk anaknya tetapi bingung harus kepada siapa.
Fenomena anak muda dan bahasa Sunda di internet memang luar biasa. Seorang Dadan sedang mencoba memenuhi kebutuhan baru urang Sunda pada era kesejagatan seperti sekarang.
Selain Dadan, banyak jua laman yang berisi tentang kesundaan dan menggunakan bahasa Sunda. Beberapa di antaranya, http://www.sundanet.com, http://www.daluang.com, http://www.salaka.net, http://www.radiobarayasunda.com, dan masih banyak lagi. Meskipun beberapa sudah mulai kurang di­update.
Banyak pula laman baru dengan tampilan lebih elegan, conthnya sundanese corner milik Hawe Setiawan. Laman ini dibuka pada 2010. Berisi tentang kesundaan dan ditulis menggunakan bahasa Inggris. Tujuannya sebagai promosi budaya Sunda untuk jagat yang lebih luas. Para pengunjungnya lebih banyak orang asing, tua, muda, dosen, ataupun mahasiswa. Umumnya menurut Hawe Setiawan, mereka ingin mengetahui informasi dan paparan tentang bahasa dan warisan Sunda. “Ini menarik, karena semakin lama pengunjungnya semakin banyak,” demikian Hawe Setiawan.
Yang paling fenomenal adalah munculnya grup fiksimini atau “Pikmin”. “Pikmin” adalah grup di jejaring sosial yang beranggotakan orang-orang penulis fiksi mini. Sejak aktif pada September 2011 sampai sekarang, jumlah anggotanya mencapai 2.876 orangdengan jumlah anggota baru sebanyak 172 orang.
Awlanya menurut Dadan Sutisna yang juga salah satu operator grup ini, semua naskah yang masuk diterbitkan begitu saja. Namun setelah penyair dan penulis senior seperti Godi Suwarna dan Tatang Sumarsono terlibat dan memeberikan komentar intensif terhadap setiap karya yang masuk, karya-karya yang diterbitkan pun akhirnya semakin selektif. Bahasa yang digunakan para penulis dan kaidah-kaidah penulisan pun semakin baik.
Komunitas ini, kini sering mengadakan pertemuan rutin di Gedung YPK setiap Sabtu siang. Karya-karya mereka sudah dibukukan dan menyusul akan diterbitkan pula buku baru. Fenomena “Pikmin” telah menumbuhkan gairah kepenulisan karya sastra yang luar biasa. “PR Online” pun memberi ruang untuk tampil di http://www.pikiran-rakyat.com lewat “Fikmin Basa Sunda”.
Untuk menghargai dan menjaga keberlangsungan semangat anak muda ini, Rektor Unpad Ir. Ganjar Kurnia, DSA yang mempunyai perhatian terhadap bahasa, sastra, seni, dan budaya Sunda sengaja memilih karya fiksimini terbaik dan memberikan hadiah. Hal ini tentu saja mendorong bermunculannya anggota baru, termasuk remaja setingkat SMA dan SMP.
Perkembangan paling mengejutkan dari grup “Pikmin” yang anggotanya disebut “Pikminers” ini, muncul gejala baru dalam kebahasaan. Urang Sunda tidak malu-malu lagi melafalkan huruf “f” dengan huruf “p”. Fikmin dikatakan Pikmin, bahkan kata “meriung” yang sebetulnya pelesetan dari kata “ngariung” dalam bahasa Sunda, konon sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan arti berkumpul bersama. Hal ini menambah khazanah baru perkembangan kosa kata bahasa Sunda.
Namun apakah fenomena ini akan bertahan lama atau sekedar tren? Hawe Setiawan menilai, hal ini akan bertahan karena para penutur bahasa Sunda akan terus menyesuaikan diri dengan perkembangan media komunikasi dan kultur masyarakat di sekitarnya.
Komunitas dan peneliti
Anak muda dan bahasa Sunda tidak hanya menguat di dunia maya, di dunia nyata pun demikian. Terbukti dengan menjamurnya komunitas-komunitas yang mengusung nama Kesundaan. Misalnya Komunitas Karinding atau Komuntas Toleat, keduanya merupakan komuntias yang peduli terhadap kesenian Sunda karnding dan toleat.
Di bidang bahasa dan sastra, muncul Sinta Ridwan, lulusan Magister Filologi Unpad yang membuka kelas gratis penulisan aksara Sunda di Gedung Indonesia Menggugat (GIM). Sejak 2009 sampai sekarang pesertanya sudah mencapai 500 orang dengan jumlah peserta yang hadir sebanyak 30 orang.
Rencananya tahun ini Sinta Ridwan akan membuat buku cerita anak Jawa Barat dalam aksara Sunda, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Tujuannya tiada lain agar urang Sunda mengenal dan mau belajar aksara Sunda kuna.
Munculnya fenomena komuntias ini menurut Dadan Sutisna, selalu berawal dari dunia maya. Perangkat teknologi seperti smartphone telah mendekatkan mereka satu sama lain sehingga terjadi hubungan yang intens. Atau komunitas-komunitas yang sebelumnya ada tidak atau belum menyentuh kebutuhan mereka sehingga mereka membentuk komunitas baru. Namun, lebih dari itu hal ini menjadi bukti bahwa antusiasme anak muda terhadap kesundaan sangat tinggi.
Antusiasme seperti ini, ternyata terjadi pula di dunia penelitian yang lebih serius. Menurut Sekertaris Pusat Studi Sunda (PSS) yang juga menjabat sebagai Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Budaya Sunda Sekolah Pasca Sarjana UPI, Dr. Ruhaliah, M.Hum, banyak anak muda setingkat sarjana bahkan calon sarjana yang masih berusia 22 tahun meneliti naskah Sunda kuno. Salah satunya adalah Ilham Nurwansah.
Sarjana baru lulusan FPBS UPI ini, meneliti naskah kuno berjudul “Sanghyang Siksa Kandang Karesian” versi koropak No. 624, koleksi naskah Perpustakaan Nasional RI di Jakarta. Naskah ini ditulis dalam aksara Sunda kuna dan sebelum membacanya harus ditransliterasikan terlebih dahulu. Namun karena rasa ingin tahu Ilham sangat tinggi, ia berhasil menguak isi naskah tersebut.
“Awalnya penasaran, apa sebenarnya isi naskah tersebut. Apa pula yang membedakan keduanya,” ujar Ilham. Isi naskah yang diteliti itu ternyata semacam ensiklopedia tentang nama-nama ahlli dan tempat belajar bahasa yang sekarang pun diyakini sebagai tempat-tempat potensial untuk mempelajari bahasa.
Ruhaliah menilai, semangat anak muda seperti ini akan menjadi aset Sunda masa depan. Jika, para filolog (peneliti/ahli naskah kuna) mau melibatkan dan mengarahkan mereka dalam penelitian-penelitian. Selama ini, filologi sebagai ilmu pernaskahan kuna, hanya dipandang sebagai pekerjaan orang tua. Tetapi ternyata, banyak anak muda seperti Ilham yang justru haus denan hal-hal masa lalu Kesundaan.
Untuk menjawab kebutuhan itu, ke depan, PSS sedang membangun perpustakaan berlantai tiga dengan sistem pengelolaan modern dan profesional. PSS juga akan terus membuat mikrofilm, mentransliterasi, dan membukukan naskah-naskah Sunda Kuna sebagai pelestarian aset budaya Sunda kuna.
Tiga buku hasl dari mikrofilm dan transliterasi yang sudah diterbitkan PSS adalah “Tututr Buwana dan Empat mantra” (2010), “Serat Swawar Cinta” (2011), dan “Sanghyang Tatwa Ajnyana” (2011). Ketiga buku ini akan diluncurkan bersamaan dengan soft opening perpustakaan PSS yang baru selesai dibangun satu.
Sedangkan untuk merangkul anak muda yang memiliki gairah tinggi, PSS akan menyelenggarakan diskusi rutin dengan narasumber senior dan yunior. Hal ini menurut Ruhaliah untuk mendekatkan filolog senior dengan para peneliti muda. Yang tentu saja sejalan dengan keinginan Ilham, “Beri kami kesempatan. Libatkan kami dalam penelitian, walupun mungkin awalnya hanya membantu,” demikian Ilham.
Sebuah tantangan baru bagi urang Sunda, adanya keterbukaan dan keberterimaan generasi tua terhadap generasi muda. Sok ah prung!
(Eriyanti/”PR”)***sumber : ilhamnurwansah.wordpress.com