Sabtu, 24 Januari 2015

Jangjawokan (Sastra Sunda Buhun)

0 comments


Oleh Agus Setia Permana

Orang Sunda Tradisional penganut ageman Sunda Wiwitan, atau Jati Sunda mengenali istilah jangjawokan yang biasa digunakan ketika menyepah (nyeupah), diucapkan dengan lirih seakan berbisik atau ada juga yang mengucapkan dalam hati. Jangjawokan digunakan pula pada setiap laku lampah, bahkan menjadi tertib hidup dalam melakukan kegiatan seha ri-hari, seperti pada saat bergaul, bekerja, dan berdoa. Laku demikian sangat lumrah bagi urang Sunda Tradisional yang tergolong kedalam masyarakat agraris, sedangkan ciri dari masyarakat agraris selalu menjaga harmonisasi dengan alam dan lingkungannya. Konon pula seluruh nu kumelendang di alam dunya dianggap memiliki jiwa, maka jika mipit kudu amit, ngala kudu bebeja (memetik dan mengambil harus me minta ijin).
Para Sastrawan Sunda seperti Wahyu Wibisana, Rus Rusyana dan Ajip Rosidi menggolongkan Jangjawokan keda lam kelompok bentuk puisi sunda. Yus Rusyana menuangkan nya ke dalam buku Bagbagan Puisi Mantra Sunda (1970). Tentunya lepas dari benar atau salah tentang pemahaman ma sing-masing sastrawan tersebut terhadap jangjawokan, namun dengan cara mengkatagorikan kedalam cabang dari puisi, paling tidak dapat terkabarkan kepada generasi berikutnya bahwa Urang Sunda pernah memiliki suatu produk budaya yang disebut Jangjawokan. Strategi penyampaian demikian lah sama halnya ketika menyelipkan adat dan tradisi Sunda kedalam paradigma baru, dalam istilah jawa disebut ngerang kepi, sehingga adat dan tradisi Sunda masih terkabarkan sam pai dengan saat ini.
Menurut Wahyu Wibisana : jangjawokan sejalan dengan maksud puisi magis yang dikemukakan Yus Rusyana, mung kin senada dengan pendapat Rachmat Subagya didalam buku tentang “Agama Asli Indonesia”. Dengan mantra orang ber-angsur-angsur memulangkan kuasa-kuasa imajiner yang di anggap melanggar atas wewenangnya yang imajiner kepada tempat asal wajar mereka yang imajiner juga. Pengertian ima jiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang mempunyai kekuasaan, kewenangan ser ta berada di tempat tertentu. Maka dengan cara tertentu, seperti membacakan mantra dan ritual, kekuasaan dan kewe nangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang dikehendaki.
Cara tertib dan krama hidup urang sunda di temukan pula di dalam kegiatan lainnya, seperti pada cara pengelolaan padi. Jangjawokannya digunakan sejak menebar benih (ne bar); menanam padi (tandur), ngaseuk (ngolah tanah), pa-nen nyiuk beas, nyangu (menanak nasi), membawa beras dari tempat mencucinya, dan ngisikan (mencuci beras). Contoh jangjawokan yang digunakan dalam mengelola beras, seperti menyimpan beras dan mencuci beras :
Mangga Nyi Pohaci/Nyimas Alame/Nyimas Mulang/ Geura ngalih ka gedong manik ratna inten/Abdi ngiring an. Ashadu sahadat panata, panetep gama / Iku kang jumeneng lohelapi/Kang ana teleking ati/Kang ana lojering Allah/Kang ana madep maring Allah/Iku wuju salamaet ing dunya/Salamet ing akherat. Asaha du anla ila haileloh/ Wa ashadu anna Muhammad darrasolullah. Abdi seja babakti kanu sakti, agung tapa/Nyanggakeun sangu putih sapulukan/Kukus kuning purba herang/ Tuduh kang seseda tuhu/Datang ka sang seda herang / Tepi ka kang seda sakti/Nu sakti neda kasakten / Neda deugdeugan tanjeuran.
Jampe Ngisikan (mencuci beras) :
Mangga Nyimas Alene/Nyimas Maulene/Geura siram dibanyu mu’min/Di Talaga Kalkaosar/Abdi ngiringan Nyi Pohaci Budugul Wulung/Ulang jail babawaan kaula / Heug. Nyi Pohaci Barengan Jati / Ulah jail kaniaya / Ka Nyi Pohaci Sukma Jati / heug,
Istilah Jangjawokan
Wahyu Wibisana dalam buku Sastra Lagu : Mencari Hubungan Larik dan Lirik menjelaskan, bahwa : “Dua buah bentuk puisi sunda yang dapat dikatakan bersifat arkais ialah ajimantra dan bentuk puisi pada cerita pantun. Istilah ajimantra diambil dari naskah kuno Sanghiyang Siksa Kanda Ng Karesiyan. Sedangkan puisi pada pantun ada sejak tahun 1518, sama artinya dengan istilah mantra sekarang. Puisi didalam cerita pantun nampak dari rajah dan nataan”.
Jangjawokan suatu arti kata lain dari ajimantra. Istilah ajimantra digunakan dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesiyan, ditulis pada tahun 1518 M. Tapi penggunaan istilah Jangjawokan tidak diketahui sejak kapan, karena Urang Sunda Tradisional lebih banyak menggunakan istilah Jangjawokan dan ajian maka istilah ajimantra agak kurang dikenal.
Penggunaan istilah ajimantra (sanksekerta) untuk   jangjawokan dimungkin sebagai adaptasi bahasa yang menggunakan persamaan kata (eufimisme). Istilah Aji di dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan yang menyebabkan seseorang menjadi sakti, sedangkan kata mantra ditafsirkan sebagai perkataan yang mendatangkan kekuatan gaib ; atau susunan kata berunsur puisi (spt rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib. Ajip Rosidi lebih menekankan pada istilah Jangjawokan dibandingkan menggunakan kalimat ajimantra. Dengan alasan : Istilah ajimantra berasal dari India dan dalam bahasa Sunda tidak pernah digunakan. Menurut Ajip Rosisi, dilihat dari segi isinya, Jangjawokan dilaksanakan oleh nu gaib, dalam arti makhluk gaib.
Adaptasi bahasa atau keyakinan 
Pemahaman orang Sunda tradisional tentang konsep Nu Gaib dapat ditelusuri melalui perkembangan sejarah keyakinan. Nama-nama Nu gaib dimaksud dapat ditelusuri dalam naskah Kosmologi Sunda (Kropak 420) dan Jatiraga. Nama-nama Nu Gaib bukan hanya istilah-istilah Dewata, seperti Brahma, Wisnu, Siwa dan Mahadewa, namun ditemukan pula nama-nama Nu Gaib yang asli penemuan Ki Sunda, seperti Pohaci, Sunan Ambu dan Wirumananggay.
Menurut Ekadjati (2005 : 176), pada awalnya masyarakat di tanah Sunda sudah mengenal yang gaib sebagai jiwa atau arwah leluhur, yang dapat memancarkan kekuatan gaib. Untuk mencegah pancaran kekuatan gaib yang bersifat buruk maka dilakukan ritual-ritual penghormatan, atau ritual-ritual khusus yang dipersembahkan untuk leluhurnya. Ritualitasnya sangat tergantung kepada masing-masing yang individu, bahkan sampai sulit untuk mengetahui tatacaranya. Pada periode selanjutnya di Pasundan bersentuhan pula dengan budaya dari India, yang membawa agama Hindu dan Buda. Di dalam naskah Wangsakerta dan buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984) disebutkan bahwa agama Hindu dan Buda berkembang di keraton Tatar Sunda, sedang masyarakat atau rakyat pada umumnya biasa masih tetap yang menganut ageman dari nenek moyangnya.
Didalam keyakinannya agama Hindu dan Buda mengenal pula adanya istilah yang Gaib lainnya, yakni Dewa yang bukan berasal dari rokh (arwah) nenek moyang. Dewa-dewa tersebut mempunyai cara hidup dan tempat tersendiri diluar kehidupan manusia, yakni nirwana atau sorga. Dewa-dewa dalam agama Hindu jumlahnya memiliki fungsi dan tugas masing-masing. Dari sorga dewa-dewa tersebut mengatur dan mengawasi kehidupan manusia. Pada masa kerajaan Sunda dan Galuh para pemuka agama (pendeta, resi, wiku) melakukan pencarian dengan menggunakan referensi dari keyakinan menurut ajaran leluhurnya serta dari Hindu dan Budha, disamping pengamatan, pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.
Pada masa selanjutnya ditemukan konsep Tuhan yang dinamakan Hiyang. Istilah Hiyang disebut juga Sanghiyang, memiliki makna yang sama, yaitu Yang Gaib. Konsep Hiyang, Sanghiyang, Sang Hiyang, berpangkal dari makna dan proses terbentuknya rokh dalam kepercayaan leluhur, namun bukan berasal dari jiwa manusia sebagaimana arwah atau roh. Hiyang terbentuk dengan sendirinya, keberadaannya gaib dan Tunggal, tidak jamak dan menguasai seluruh alam. Sifat Hiyang tercermin dari nama-nama yang diberikan kepadanya, yaitu Batara Seda Niskala (Yang Gaib), Batara Tunggal (Yang Esa), Batara Jagat (Yang Menguasai Alam), Sang Hiyang Keresa (Yang Kuasa), Nu Ngersakeun (Yang Berkehendak), dan Batara Guru (Yang Maha Tahu), bahkan istilah Batara didalam istilah Batara Tunggal dianggap adaptasi bahasa dari Hiyang Tunggal.
Penemuan konsep Hiyang tidak serta merta menghilangkan fungsi dari dewa-dewa lainnya, namun tetap ada dan ditempatkan di bawah Hiyang. Tempat Hiyang berada di Parahyangan atau di luar dunia. Parahyangan memiliki ruang yang digambarkan yang bertingkat tingkat. Tingkat paling bawah di huni oleh para Dewa (Brahma, Wisnu, Siwa, Isora, Mahadewa). Diatasnya ditempati Dewa dalam konsep Sunda, seperti Sari Dewata dan Ni Dang Larang Nawati. Diatasnya lagi dihuni oleh Dewi Sri (Pwa Sang-hiyang Sri), Dewi Bumi (Pwa Naga Nagini), Dewa Bulan (Pwa Na-ga Nagini). Ditempat yang paling atas sekali, bersemayam Sang Hiyang Keresa, tempat yang lepas dari semua ikatan, dan hidup dalam keabadian, atau Jatiniskala.
Dari kesejarahan tersebut memang nampak adanya Nu Gaib dengan Yang Maha Gaib. Istilah Nu Gaib dimungkin disebutkan untuk dewa-dewa dalam dalam konsep Sunda, seperti Sari Dewata dan Ni Dang Larang Nawati ; Dewi Sri (Pwa Sanghiyang Sri) ; Dewi Bumi (Pwa Naga Nagini) ; Dewa Bulan (Pwa Naga Nagini), disamping dewa-dewa yang mengadopsi dari agama Hindu, seperti Brahma ; Wisnu ; Siwa ; Isora ; dan Mahadewa. Sedangkan Yang Maha Gaib disebutkan kepada Sang Hiyang Keresa atau Sang Hiyang Tunggal.
Disisi lain, pemahaman istilah nu gaib tidak selamanya berkonotasi makhluk gaib yang berasal dari seperti arwah leluhur. Akan tetapi ada juga semacam cara membangkitkan spiritulitas dalam diri manusa, seperti paradigma tentang raga ; bathin dan kuring. Negasi terhadap paradigma diatas dapat dicontohkan dari salah satu Jangjawokan, sebagai berikut :
Ka Indung nu ngandung/Ka Rama nu ngayuga/Ka Indung nu teu ngandung/Ka Rama nu ngayuga/ Kadulur opat kalima pancer/ Pangnepikeun ieu hate/ Ka Indungna anu nagnadung/Ka Ramana anu ngayuga/Ka Indungna nu teu ngandung/Ka Ramana nu ngayuga/Kadulur opat kalima pancer / Kalawan kanu ngurus jeung ngaluis si …. (anu) …… dst  dst.
Dari Jangjawokan diatas tidak nampak adanya eksistensi nu gaib dari luar dirinya. Kecuali jika kalimatul indung nu ngandung dan nu teu ngandung ; bapak nu nungayuga kalawan nu teu nga-yuga ; dulur opat kalima pancer dianggap makhluk gaib ?. Padahal istilah ini di yakini terkait dengan sejarah diri. Sejarah dimana saat ini dia ada kumelendag (berada) di alam dunia.
Penggunaan Jangjawokan
Pada kasus lain penggunaan Jangjawokan bisa jadi bertujuan untuk memperkuat bathin yang membacakannya, atau semacam ada perintah ingsun kepada bathinnya untuk berkomunikasi dengan ingsun orang lain. Jika saja yang dimaksud dalam kandungan jangjawokan sama dengan yang dimaksud dalam Pantun Sunda, mengingat keduanya juga dikatagorikan sebagai puisi arkais, hemat saya dapat pula diperbandingkan dengan referensi dari Buku Jakob Sumardjo tentang ‘Khasanah Pantun Sunda’, terutama tentang ‘arkeologi pemikiran’ Urang Sunda Buhun. Salah satunya Trias Politik Sunda. Tanpa pemahaman yang jelas niscaya Ki Sunda akan kehilangan sejarah pemikirannya yang hakiki.
Signal dari paradigma dan muara permohonan bisa pula dikaitkan dengan strata atau hirarkhi pengabdian. Misalnya Wado tunduk kepada Mantri ; Mantri tunduk kepada nangganan ; nangga nan tunduk kepada mangkubumi ; mangkubumi, tunduk kepada ratu ; ratu tunduk kepada dewata ; dewata tunduk kepada Hyang. Dengan demikian Hyanglah yang tertinggi.
Dalam perkembangan selanjutnya ditemukan ada sebutan Allah kepada yang dimohonkan. Urang sunda biasanya membaca dengan Alloh. Konsonan “O” nya sangat kental – khas. Menurut beberapa sumber ada jangjawokan dari Urang Baduy yang menggunakan istilah yang digunakan para pemeluk agama islam, seperti didalam Sawer Panganten dan Sadat Islam. Padahal Urang Baduy memeluk agama Sunda Wiwitan, atau Jati Sunda.
Adapun contoh dari Sawer Panganten Baduy dan sadat Islam dimaksud, sebagaimana dibawah ini :
Bismillahirohmanirohim
Panggpunten kasadaya
Kau nu tua ka nu anom,
Sumawon kanu sepuh mah,
Kaula bade nyembahkeun,
Nyipanganten sareng ki panganten.
Sadat Islam
Sadat Islam aya dua
Ngislamkeun badan kalawan nyawa
Dat hirup tangkal iman
Ngimankeun badan sakujur,
Hudang subuh banyu wulu,
Parentah Kangjeng Gusti,
Nabi Adam pangyampurna-keun badan awaking
Sir suci
Sir adam/Sir Muhammad
Muhammad Jaka lalana,
Nu aya di saluhuring alam.
Istilah dalam jangjawokan yang banyak disebut-sebut urang sunda Buhun, seperti Allah, Adam dan Muhammad tentunya tidak bisa dilepaskan dari paradigma tentang Dzat, Sifat dan Manusia itu sendiri. Bisa ada pengaruh dari agama Islam seperti dalam tarekat ‘Nahdlatul Arifin’, yang mengajarkan, bahwa : jika manusia ingin mengenal Allah yang sebenar-benarnya, maka seseorang harus mengetahui rahasia alif lam mim, yaitu Allah–Muhammad – Adam.  Mungkin juga menandakan adanya unsur kesatuan yang hakiki antara raga, bathin dan kuringna manusa.
Contoh lain dapat ditemukan pula dalam do’a untuk belajar, bertujuan agar dicerahkan pikiran pemohonnya.
Allahuma hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
bray padang ….. Alllah.
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang,
Brya caang,
Caang na salalawas na
Lawasna Saumur kula.
Setelah waktu yang cukup lama kemudian dicoba menelusuri dari mana asal jangjawokan itu, dan bagaimana pula bahasa aslinya. Pada akhirnya menemukan dari salah satu sumber, konon dahulunya berisi, demikian :
Hujud bungbang
Nu hurung dina jajantung
Nu ruhay dina kalilipa
Remet meteng dina angen
Bray padang
Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula
Bray padang,
Bray caang,
Caangna salalawasna
Lawasna Saumur kula.
Abdul Rojak menyebutkan, Orang Kanekes Baduy Dalam (Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo) juga mengenal istilah Saha dat, yang disebut Sahadat Sunda, sebagai berikut :
Asyhadu syahadat Sunda, zama alloh ngan sorangan. Kaduana Gusti Rasul, katilu Nabi Muhammad, Kaopat umat Muhammad. Nu cicing di bumi angari cing. Nu Calik dina alam keueung. Ngacacang di alam mokaha. Salamet umat Muhammad.
(Asyhadu Syahadat Sunda, Zaman allah hanya satu. Kedua para Rasul. Ketiga Nabi Muhammad. Keempat umat Muhammad. Yang tinggal di Bumi yang ramai. Yang duduk di alam takut. Menjelajah alam nafsu. Selamat umat Muhammad).
Perbedaan antara Sahadat di dalam agama Islam dengan Sahadat Buhun diakui pula oleh masyarakat Baduy, Seperti keterangan Ayah Mursid, tokoh masyarakat Cibeo :
Sahadat menurut ajaran Sunda Wiwitan diartikan sebagai rangkai an kalimat berisi do’a do’a atau jampe-jampe yang disampaikan kepada Sang Pencipta Alam sesuai dengan kebutuhan, kegiatan atau masalah yang dihadapi, dan diucapkan tidak sembarangan ada kramanya” (Saatnya Baduy Bicara, Hal. 90,  Asep Kurnia dkk – 2010).
Jika dikaji lebih jauh, mungkin akan ditemukan adanya transformasi ageman, yang semula menggunakan simbol-simbol  dan bahasa agama Sunda Wiwitan, atau menggunakan bahasa yang di gunakan di dalam agama Islam, namun tidak merubah substansi dari tujuannya. Jika saja asal Jangjawokan yang kedua diatas diyakini bersumber dari jangjawokan yang pertama dan tidak di temukan kalimat Allah, namun dalam bentuk Jangjawokan dibawah pun tidak unsur yang memintakan kepada makhluk gaib dalam arti diluar (kekuatan) dirinya. Mungkin pencantuman kalimat Tauhid didalam jangjawokan dikembangkan oleh urang sunda berikutnya, bertujuan memintakan legitimasi dan ijin dari yang Maha Gaib, yakni Tuhan. Hal ini menunjukan adanya adaptasi dan penguatan permohonan kepada Tuhan. Ada benarnya jika urang tua mengemukakan, bahwa :
“antara Gusti jeung makhlukna euweuh watesna, leuwih deukeut jeung naon wae, malah masih jauh antara hate jeung urat beuheungna” (antara Allah dan makhluknya tidak ada batasnya, lebih dekat dari apa saja, malahan masih jauh jarak antara hati manusia dengan urat leher).
Ciri-ciri Jangjawokan
Jangjawokan didalam koridor sastra puisi arkais didefinisikan, sebagai : permintaan atau perintah agar keinginan (orang yang menggunakan jangjawokan) dilaksanakan oleh nu gaib dalam pengertian makhluk gaib. Sebatas ini mudah dipahami, yakni para pengguna jangjawokan menggunakan makhluk gaib untuk mencapai keinginannya. Namun tidak dapat dipungkiri jika ditemukan pula jangjawokan yang menggunakan bacaan sebagaimana lajimnya di gunakan oleh urang sunda yang beragama islam (lihat Sadat Buhun), yang dikatagorikan sebagai do’a. Hanya saja menjadi membuahkan pertanyaan, apakah jangjawokan itu bukan do’a ?.
Pemilahan jangjawokan dengan do’a dimungkinkan terjadi jika jangjawokan dikatagorikan sebagai bagian dari puisi sunda (arkais), serta dibahas dengan menggunakan Indikator dalam kacamata sastra. Namun boleh saja jika jangjawokan dilihat dari kacamata lainnya. Karena ketika masyarakat Sunda Tradisional mengucapkan jangjawokan tentunya tidak ditujukan untuk membaca puisi, melainkan memohonkan sesuatu.
Jangjawokan diyakini memiliki kekuatan magis. Kemungkinan kekuatan dari kandungan magis yang dirasakan nyaman menyebabkan jangjawokan ditularkan secara turun temurun. Jangjawokan tidak mungkin bisa bertahan dan terkabarkan hingga sekarang jika tidak dirasakan manfaatnya dan diyakini kekuatannya. Yang jelas ada harmoni manusia dengan alamnya ketika jangjawokan itu dibacakan.
Peran jangjawokan bisa diasumsikan keberadaanya sebelum kemudian diserahkan kepada para penyembuh modern, seperti dokter ; psikolog ; atau profesi apapun yang terkait dengan masalah penyembuhan fisik dan psikis. Jangjawokan digunakan pula dalam keseharian, sebagai bagian dari tertib hidup, seperti pada kegiatan sebelum buang air dan kegiatan lainnya. Jangjawokan dalam jenis ini bisa ditemukan dalam Jampe Kahampangan (Jampi hendak buang air kecil) ; Jampe Kabeuratan (hendak buang air besar) ; Jampe Neda (Jampi sebelum makan) ; Jampe Masamon (Jampi bertamu) dll. Konon kabar, kekuatan dari magisnya terletak pada kebersihan hati sipelafalnya dan kesungguhan bagi para penggunannya. Namun saya tidak bisa terlalu jauh masuk untuk mengetahui pengaruhnya, biarlah merupakan bagian dari para akhlinya.
Wahyu Wibisana, mengkatagorikan ajimantra (Jangjawokan) yang merupakan sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda kuno. Sama halnya dengan yang dimuat dalam kamus bahasa Indonesia, yakni susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib. Dikatakan ’pernah digunakan’ dan ’pernah muncul’, karena memang saat ini kebanyakan orang sunda sudah banyak yang tidak menggunakannya, selain sudah jarang diketahui, juga dimungkinkan karena tidak dikenal didalam ageman barunya. Hanya saja, sebagai karya sastra (yang umumnya berbentuk lisan) tetap merupakan genre tersendiri dalam sastra Sunda seperti juga pada sastra daerah lainnya di Nusantara.
Dari pernyataan diatas, saya yakin masih ada masyarakat Sunda yang menggunakan jangjawokan. Kitapun lantas tidak bisa menafsirkan masyarakat pengguna jangjawokan sebagai masyarakat ketinggalan jaman, karena realitasnya masih nyaman untuk digunakan. Dengan dimasukannya ajimantra sebagai bagian dari puisi maka masih bisa ditelusuri dan terkabarkan beritanya kepada generasi berikutnya. Setidak-tidaknya katagorisasi ini dapat menyelamatkan jangjawokan sebagai asset budaya bangsa, sekalipun hanya dinikmati sebagai karya seni, tidak pada unsur magisnya.
Jangjawokan menurut Wahyu Wibisana memiliki ciri-ciri khu sus. Ciri-ciri yang dimaksudkan Wahyu tentunya dilihat dari kata gori Jangjawokan sebagai bagian dari puisi arkais sunda. Jadi wajar jika ada tekanan tujuan dari materi jangjawokan ; gaya sastra dan gaya bahasa ; rima-rima ; dan kelahirannya dalam pemahaman tentang sastra sunda. Adapun ciri-ciri Jangjawokan, sebagai berikut :
1.      menyebutkan nama kuasa imajiner, seperti : Pohaci Sanghiyang Asri, Batara, Batari dll.
2.      dalam kalimat atau frase yang menyatakan si pengucap jang jawokan berada pada posisi yang lebih kuat, otomatis berhadapan dengan pihak yang lemah.
3.      berhubungan dengan konsvensi puisi, merupakan kelanjutan dari gaya Sastra Sunda Buhun dan cerita Pantun, yakni ada nya desakan atau perintah, disamping himbauan, tegasnya bersifat imperative dan persuasif.
4.      masih berhubungan dengan konvensi puisi, adanya rima-rima dalam jangjawokan. Rima-rima dimaksud memiliki fungsi estetis ; membangun irama ; fungsi magis; fungsi membuat ingatan orang yang mengucapkan.
5.      adanya lintas kode bahasa pada ajimantra yang hidup di Priangan dan Baduy. Bahasa jangjawokan tersebut diserap seutuhnya atau disesuaikan dengan lidah pengucapnya.
6.      terkesan sebagai sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda.
Penyebutan Kuasa Imajiner
Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendaki, sebagaimana dalam Jangjawokan. Nama-nama kuasa imajiner, seperti Nu Gaib dan Nu Maha Gaib, sebagaimana diuraikan diatas, tentunya ada juga yang menggunakan istilah-istilah lainnya, seperti Pohaci Sanghyang Asri ; Batara dan Batari ; Sri Tunggal Sampurna ; Malaikat Incer Putih ; Raden Angga Keling ; Sang Ratu Babut Buana.
Contoh-contoh penyebutan kuasa imajiner tersebut, seperti didalam Jampe Masamoan :
Nu ngariung jiga lutung/Nu ngarendeng jiga monyet/ Nya aing mandahna ! Maung pundung datang turu/ Badak galak datang depa/Galudra di tengah imah Kakeureut kasieup ku pohaci awaking.
Jampe masamoan (berkunjung) diatas bertujuan agar memiliki kekuatan yang tersinari pohaci yang ada didalam dirinya. Bahkan ada semacam perintah bathin kepada bathin siapapun yang ada ditempat pasamoan tersebut untuk tunduk dan menerima ke hadirannya. Mungkin juga dapat ditafsirkan adanya perintah bathin orang yang hendak bertamu kepada bathin pihak nu di pasamoan.
Contoh perintah bathin seperti diatas dapat dilihat dari jangjawokan tentang Asihan (penarik) seperti dibawah ini :
Ka Indung anu ngandung
Ka Rama anu ngayuga
Ka Indung nu teu ngandung
Ka Rama anu teu ngayuga
kadu lur opat kalima pancer
Pang nepikeun ieu hate
Ka Indung na anu ngandung
Ka Rama na anu ngayuga
Ka Indung na nu teu/ngandung
Ka Rama anu teu ngayuga
Kadulur na opat kalima pancer
Kalawan kanu ngurus ngaluis
hirup jeung huripna... (sianu)...../ Pamugi sing ....
dari jangjawokan diatas ditemukan ada perintah bathin (rasa) dari pembaca jangjawokan kepada bathin (rasa) orang yang dituju, untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya. Perintah dan urusan koridor bathin ini sangat nampak ketika pemohon memerintahkan bathinnya untuk menyampaikan kepada bathin tujuannya. Seperti ada eksistensi bathin ibu yang mengandung maupun yang tidak mengandung serta ayah yang melindungi dan yang tidak melindungi). Kemudian disebut pula eksistensi dari saudara yang empat dan pancernya. Tentang empat dan pacernya ini ada wawacan yang menjelaskan maksudnya, sebagaimana dibawah ini :
Coba riksa anu opat nu jadi bakal manusa bumi, geni, banyu jeung angin. Bumi metukeun cahaya hideung, nu nyata jadi pangucap. Geni metukeun cahaya beureum, nu nyata jadi panguping. Angin metukeun cahaya koneng, nu nyata jadi pangangseu. Banyu metu keun cahaya bodas, nu nyata jadi paningal.
Nu metukeun cahaya hideung, tina bumi malaikat sawiah. Nu metu keun cahaya beureum, tina geni malaikat tamarah. Nu metukeun cahaya koneng, tina anginna malaikat mutmainah, nu metukeun cahaya bodas, tina banyu malaikat loamah. Anu opat ngalebur ngajadi hiji, ngajadi papancer ning manusa.
Dalam konteks yang sama ditemukan pula istilah spiritual yang lajim digunakan penganut agama islam. Sehingga kuasa imajiner jika ditafsirkan yang gaib atau makhluk terasa kurang pas.
Jampe Unggah
Ashadu sahadat bumi
Ma ayu malebetan
Bumi rangsak tanpa werat
Lan tatapakan ing Muhammad
Birahmatika ya arohmana rohomin
Jampe Turun
Allohuma ibu bumi
Medal tapak tatapakan
Turun wawa yang ing Muhamad
Birahmatika ya arohma rohimin.
Jika saja ditelaah lebih lanjut dari kedua jangjawokan terakhir, kiranya menjadi maklum, bahwa permohonan bathin kepada sesuatu ”Yang Gaib” dimintakan ijin terlebih dahulu kepada ”Yang Maha Gaib”, atau dapat juga disimpulkan bahwa atas kehendak yang Maha Gaib maka Yang Gaib diperintahkan. Mungkin lebih bijak jika mendefinisikan jangjawokan dengan cara menggunakan paradigma dari para penggunanya, yakni masyarakat Sunda tradisional. Ketika mengkaji dan menemukan sejarah diri akan terungkap ada tiga unsur yang menyebabkan manusa hirup jeung hurip, yakni unsur lahir (raga) ; bathin (hidup) dan kuring (aku). Kuring atau aku bertindak sebagai driver bagi lahir dan bathin, bagi raga jeung hirupna. Aku pula yang memanaje raga dan bathin. Dari paradigma tersebut tentunya dapat disimpulkan, bahwa nu gaib itu bukan sesosok makhluk yang ada diluar dirinya, melainkan nu ngancik dina dirina. Jika ada sanggahan masalah spiritualnya, paradigma yang bisa digunakan tentang pemahaman kesalehan urang Sunda Buhun adalah : Manggihkeun hyang tanpa balik kadewa (kembali kepada Dzat asalnya bukan kepa da Dewa).
Pemberi perintah
Para pengguna jangjawokan bertindak sebagai pemberi perintah bathin, paling tidak sebagai pihak yang menginginkan sesuatu. Oleh para sastrawan diposisikan sebagai pihak yang lebih kuat terhadap penerima perintah. Misalnya didalam jampe masamoan :
Nu ngariung jiga lutung
Nu ngarendeng jiga monyet
Nya aing mandahna …….......
kakeureut ka sieup ku pohaci awaking,
atau :
Curuk aing curuk angkuh
Bisa ngangkuh putra ratu  ……
mangka reret soreang
soreang ka badan awaking.
Sipemberi perintah hemat saya tidak selamanya memposisikan diri sebagai pihak yang lebih kuat, karena ada juga kecenderungan kalimat yang dapat ditafsirkan sebagai permohonan atau himbauan, bukan perintah. Jika diperhadapkan dengan yang kuat dan yang lemah, maka sangat tepat jika ia disebutkan sebagai pihak yang lebih rendah dan sedang memohon sesuatu untuk dikabulkan. Suatu hal yang sering terlupakan dalah sifat Ki Sunda yang senantiasa menjaga harmoni, sebagaimana layaknya masyarakat agraris senantiasa menjaga harmoni dengan alam, sehingga antara alam dengan dirinya tidak ada batasnya. Inilah yang disebutkan budayawan lainnya sebagai puncak mitis spiritualitas, yang tidak dapat dimiliki semua manusia.
Tipe jangjawokan yang ada kaitannya dengan menjaga harmoni alam dimaksud sebagaimana yang ditemukan di dalam jampe nyimpen beas (menaruh beras) :
Mangga Nyi Pohaci
Nyimas Alane Nyimas Mulane
Geura ngalih ka gedong manik ratna inten
Abdi ngiringan dst.
Kalimat tersebut ini jauh dari unsur memerintah, namun menaruh harapan besar untuk dilakukan, sehingga lebih tepat jika dikatagorikan membujuk untuk melakukan. Contoh lainnya seperti dalam Jampe Ngisikan (mencuci beras) :
Mangga Nyimas Alene Nyimas Mulane
Geura siram dibanyu mumin
Di Talaga Kalkaosar
Abdi ngiringan ... dst”.
Dari beberapa jangjawokan tertentu, seperti pangabaran atau asihan, penyatuan bathin dan kandungan jangjawokan dilakukan melalui proses kuru cileuh kentel peujit (berpuasa atau semacam tirakat). Mungkin ini untuk menumbuhkan kesungguhan dan keteguhan hati serta keyakinan agar tujuan tersebut bisa dicapai. Didalam jangjawokan sering ditemukan adanya pengulangan kata-kata yang bersifat imperatif atau persuasif, misalnya didalam jampe belajar :
Bray padang, Bray caang  Caangna salalawasna,/lawasna Saumur kula.
Atau
Mangka langgeng mangka tetep / mangka hurip kajayaan.
Jika dicermati kalimat ini ada semacam penegasan seperti dari istilah “Bray Padang/Bray Caang”, yang kurang lebih maksudnya sama, yakni terang benderang. Atau dalam kalimat “Mangka Langgeng/Mangka Tetep”, yang artinya kurang lebih agar kekal dan abadi. Namun didalam yang diniatkan, penegasannya dapat dipahami sebagai yang menunjukan kesungguhan dari Pemohon agar tercapai apa yang dikehendakinya.
Penutup
Sangat sulit mendifinisikan jangjawokan, kecuali dari kandungan keinginan yang termaktub didalam jangjawokan itu sendiri. Memang ada pernyataan yang meminta kepada kekuatan gaib, namun ditemukan pula adanya upaya untuk menguatkan bathin, dan negasi tentang eksistensi Tuhan. Jika saja dinyatakan sebagai perintah, itupun sulit didefinisikan, mengingat ada pula jangjawokan yang isinya memohon atau menghimbau, agar yang dimohon dapat memberikannya dengan ikhlas.
Jangjawokan adalah hasil cipta, karsa dan rasa Ki Sunda. Memiliki akar kesejarahan yang mandiri. Sejalan dengan perkembangan dan sejarah pemahaman tentang keyakinan dan sejarah diri, bahkan keberadaanya pernah berperan sebagai penyembuh. Pada masa lalu, jangjawokan bukan sekedar puisi yang dapat dinikmati kata-katanya, namun diyakini memiliki kekuatan spiritual. Biarlah jangjawokan diampihan sebagai sastra dan puisi, agar tidak hilang dan dapat terkabarkan dikemudian hari.
Mun seug tea mah aya nu nyungsi rusiah jangjawokan, di paluruh nepi ka wates wangenna. Tinangtu bakal panggih jeung sajatining hirup jeung huripna. Nu gaib lain makhluk nu misah tina ingsunna. Nu ngulon, ngaler, ngetan jeung ngidul, lain nu nyeng kal tina pancerna. Sakabeh aya na hate jeung rasana, aya dina uteuk jeung pikiranana. Ibarat gula jeung amisna, uyah jeung asinna, ngajirim ngajadi hiji, kalawan tinekenan bakal kabuka rusiah, saha ari urang ? timana ari urang ? jeung rek kamana ari urang ?. Sabab mun manusa geus wawuh jeung dirina tinangtu bakal wawuh ka Gusti na.(Cag)

(Sumber:http://tuturussangrakean.blogspot.com)