Ka hareup ngala sajeujeuh, ka tukang
ngala salengkah. Ka kamari pulang anting, isukan purug anjangan. Ulah
poho, tempa-tempo ka pageto. (Ke depan berjalan setapak, ke
belakang mundur selangkah. Ke kemarin pulang-pergi, ke besok harus
sering jenguk. Jangan lupa, lihat-lihat esok lusa).
Filosofi
hidup urang Sunda itu dipegang teguh Anis Djohanis, budayawan dan
seniman yang lebih dikenal sebagai Anis Djatisunda. Umur tak membuatnya
mundur. Bahkan dia makin getol mendalami tradisi Sunda, terutama yang
berkaitan dengan Sunda lama atau Sunda buhun.
”Kalau berjalan
maju setapak, kita ternyata harus mundur satu langkah untuk melihat hari
kemarin. Itulah falsafah hidup yang sesungguhnya,” tutur Anis yang
ditemui di rumahnya, di sebuah gang sempit belakang Masjid Agung, Kota
Sukabumi, Jawa Barat.
”Hari kemarin itu harus kita lihat, agar
kita tahu harus bertindak apa untuk hari ini. Namun, hari esok harus
sudah kita pikirkan, juga untuk esok lusa,” ujar Anis menjelaskan alasan
memilih orientasi tradisi Sunda buhun.
Anis memilih berorientasi
kepada Sunda buhun karena sejarah masa lalu sangat penting untuk
merumuskan rencana hidup hari ini, termasuk dalam soal tradisi.
”Orientasinya
boleh masa lalu, tetapi implementasinya harus searus dengan zaman
sekarang. Kalau tradisi itu orientasinya masa lalu, kemudian
implementasinya seperti masa lalu, pasti akan dimusuhi banyak orang,”
ujar Anis, penulis lepas untuk sejumlah majalah berbahasa Sunda ini.
Darah
seni Anis sudah terlihat sejak masa sekolah menengah atas. Ketika itu,
sekitar tahun 1960, Anis sudah menguasai seni musik calung, karawitan
sunda, kesenian reog, pewayangan, dan menulis cerita pendek berbahasa
Sunda. Waktu itu dia juga telah mampu menciptakan lagu-lagu Sunda dengan
menggunakan tangga nada diatonis.
Mandiri
Apresiasinya
terhadap kesenian Sunda makin besar ketika ia diterima sebagai pegawai
negeri sipil pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Kota Sukabumi
tahun 1965. Selama periode 1968 hingga tahun 1988, Anis menjadi orang
penting di balik kesuksesan Kota Sukabumi dalam meraih dan
mempertahankan supremasi kebudayaan di Jawa Barat.
Apa yang membuat Anis menjadi orang yang sebegitu penting di balik kesuksesan Kota Sukabumi kala itu?
”Wali
Kota Pak Saleh Wiradikarta, dilanjutkan Wali Kota Soejoed, memberi
keleluasaan kepada saya untuk menggunakan Gedung Juang ’45 sebagai pusat
pengembangan seni. Saya tidak diberi uang sama sekali oleh pemerintah
daerah. Jadi saat itu saya bersama para seniman diminta mandiri dalam
mengelola seni tradisi Sunda. Namun, justru karena tantangan itulah,
seni tradisi dan budaya Sunda ketika itu maju pesat,” kata Anis yang
waktu itu dipercaya menjadi Ketua Badan Koordinasi Kesenian Nasional
Indonesia Cabang Kota Sukabumi.
Oleh Anis dan sesama seniman,
Gedung Juang ’45 dijadikan pusat pertunjukan kesenian Sunda; segala
sesuatu yang berbau kesenian Sunda boleh dipentaskan di gedung yang
berada di seberang Lapangan Merdeka itu. Bahkan, gedung tersebut juga
menjadi sanggar lukis.
”Ketika tidak dipakai untuk pentas atau
latihan, gedung itu kami sewakan. Dari situlah kami membiayai
pengembangan seni dan budaya Sunda di Sukabumi, sehingga Kota Sukabumi
meraih penghargaan sebagai Pelestari Budaya Daerah Jawa Barat dari
Menteri Penerangan Harmoko (ketika itu),” ujar pendiri Padepokan Seni
Kota Sukabumi itu.
Anis mengimplementasilkan orientasi Sunda
buhun dengan menyelenggarakan teater rakyat yang didahului dengan riset
selama dua tahun. Anis kemudian menemukan jenis kesenian tradisional
Sunda buhun yang sudah tak pernah dipentaskan lagi, yaitu kesenian uyeg.
Kesenian uyeg asalnya merupakan teater rakyat Sunda yang dipentaskan
dalam upacara seren taun ketika zaman Kerajaan Padjadjaran.
Upacara
seren taun yang digelar setiap delapan tahun sekali itu dilakukan untuk
menghormati Sang Hyang Sri (dewi kesuburan padi dan tanaman-tanaman)
serta Sang Hyang Kuwera (dewa kesuburan tanah dan peternakan).
”Dulu,
teater itu dilakukan semalam suntuk. Setelah saya sesuaikan dengan
kondisi masyarakat saat itu, menjadi dua jam saja meski tanpa mengurangi
makna pertunjukan,” kata Anis.
Prihatin
Di tengah nostalgianya terhadap gebyar kesenian Sunda di Kota Sukabumi pada era 1968-1988, Anis kini justru gundah dan prihatin.
”Sekarang sudah tidak tersisa lagi, sulit menghidupkan kembali kesenian Sunda di tengah kondisi seperti ini,” katanya.
Menurut
Anis, orientasi generasi muda sekarang sudah berbeda dengan masa itu.
Kini generasi muda dinilainya lebih mementingkan materi dibandingkan
melestarikan tradisi.
”Sulit mencari generasi muda yang mau
peduli dengan seni tradisi Sunda. Di sisi lain kesenian modern, seperti
dangdut, lebih memikat karena artis-artinya mudah mencari uang. Jadi
banyak orang yang tertarik (kepada dangdut),” kata Anis.
Dengan
sisa tenaga yang dimilikinya, Anis tetap menyediakan diri untuk
melestarikan tradisi Sunda. Walaupun ia tidak bisa lagi berharap banyak
un-tuk menghidupkan kembali seni Sunda di Kota Sukabumi. Bahkan, di kota
ini pun ha-nya sedikit orang yang tahu siapa Anis Djatisunda dan
sebesar apa kiprahnya pada masa lalu.
”Sekarang saya ibaratnya barang rongsokan,” ujar Anis bergurau.
Sampai
sekarang Anis banyak menghabiskan waktu untuk membagi ilmu yang
dikuasainya sebagai pembicara dalam seminar di komunitas-komunitas
penggiat tradisi Sunda. Ia juga suka berdiskusi dengan para seniman
Sunda. Rumahnya tak pernah sepi dari tamu-tamu yang hendak bertukar
pikiran soal tradisi Sunda dengan pria ini.
Anis juga ikut serta
memberi ide bagi lahirnya Kampung Budaya Sindangbarang di kaki Gunung
Salak, Kabupaten Bogor, yang digagas seniman Bogor, Mikami Sumawijaya,
tiga tahun yang lalu. (FX Puniman, Wartawan di Bogor)
ANIS DJOHANIS
•
Lahir: Jampang Kulon, Kabupaten Sukabumi, 7 Mei 1939 • Pendidikan : -
Sekolah Rakyat III, Kebon Jati, Kota Sukabumi - Sekolah Menengah Pertama
Tamansiswa, Kota Sukabumi - Sekolah Menengah Atas Persatuan Guru
Republik Indonesia, Kota Sukabumi • Istri: Yuyun Yunasah (59) • Anak: -
Isma Sundamaya (42) - Wanda Sundahudaya (40) - Wilang Sundakalangan (34)
• Cucu: lima orang • Pekerjaan: Pegawai negeri sipil bidang kebudayaan
(1965-1999) • Aktivitas: - Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Hanjuang,
bergerak dalam bidang seni, budaya daerah dan pariwisata - Penulis lepas
majalah Sunda - Sekretaris/Koordinator Pelatih Organisasi Senam
Pernapasan Mahatama Indonesia Cabang Tanjungsari Sukabumi - Mitra
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia • Karya: Kehidupan Masyarakat
Kanekes (atau Baduy), diterbitkan Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Sunda, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung: 1986
Sumber : http://cabiklunik.blogspot.com