Kampung Kuta adalah dusun adat yang masih bertahan di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis. Kampung adat ini dihuni masyarakat yang dilandasi kearifan lokal, dengan memegang budaya pamali (tabu), untuk menjaga keseimbangan alam dan terpeliharanya tatanan hidup bermasyarakat. Salah satu yang menonjol adalah dalam hal pelestarian hutan, sekaligus mempertahankan kelestarian mata air dan pohon aren untuk sumber kehidupan mereka.
Karena penghormatan yang tinggi terhadap hutan, warga Kampung Kuta yang hendak masuk ke kawasan hutan tidak pernah mengenakan alas kaki. Tujuannya agar hutan tersebut tidak tercemar dan tetap lestari. Oleh karena itu, kayu-kayu besar masih terlihat kokoh di Leuweung Gede. Selain itu, sumber air masih terjaga dengan baik.
Secara administratif, Kampung Kuta berada di wilayah Kabupaten Ciamis, Kecamatan Tambaksari, tepatnya di dalam Desa Karangpaningal. Kampung Kuta terdiri atas 2 RW dan 4 RT. Kampung ini berbatasan dengan Dusun Cibodas di sebelah utara, Dusun Margamulya di sebelah barat, dan di sebelah selatan dan timur dengan Sungai Cijulang, yang sekaligus merupakan perbatasan wilayah Jawa Barat dengan Jawa Tengah.
Untuk menuju ke kampung tersebut jarak yang harus ditempuh dari kota Kabupaten Ciamis sekitar 34 km menuju ke arah utara. Dapat dicapai dengan menggunakan mobil angkutan umum ke Kecamatan Rancah. Sedang dari Kecamatan Rancah menggunakan motor sewaan atau ojeg, dengan kondisi jalan aspal yang berkelok, dan tanjakan yang cukup curam. Jika melalui Kecamatan Tambaksari dapat menggunakan kendaraan umum atau ojeg, dengan kondisi jalan serupa.
Upacara Adat Nyuguh
Sesuai warisan leluhur, acara nyuguh itu harus dilakukan di pinggir Sungai Cijolang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap, Jateng. Pernah satu kali acara nyuguh tak dilaksanakan, tiba-tiba seluruh kampung mendapat musibah. Padi yang siap panen rusak parah, sedangkan sejumlah hewan ternak ditemui mati menggelepar. Warga menyakini kerusakan itu terjadi karena “utusan” Padjadjaran itu tidak disuguhi makanan. Alhasil mereka pun mencari makanan sendiri dengan cara merusak kampung.
Adapun perjalanan ke Sungai Cijolang sekitar lima kilometer. Kini, Pak Kuncen pun kembali memulai ritual.
Doa kembali dipanjatkan sebelum warga menyantap makanan yang tersedia. Setelah berdoa, seluruh warga kemudian menyantap makanan yang dibawa dari kampung. Makanan khas yang harus ada setiap upacara.
Upacara Adat Nyuguh ini merupakan suatu upacara ritual tradisional Adat Kampung Kuta Kec. Tambaksari Kabupaten Ciamis yang selalu dilaksanakan pada tanggal 25 shapar pada setiap tahunnya.
Sejarah Kampung Kuta Ciamis
Kampung yang terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, berbatasan dengan Jawa Tengah itu dikenal sebagai Kampung adat. Ada beberapa versi mengenai sejarah Kampung Kuta ini. Menurut cerita rakyat setempat, asal-usul Kampung Kuta berkaitan dengan berdirinya Kerajaan Galuh. Konon, pada zaman dahulu ketika Prabu Galuh yang bernama Ajar Sukaresi (dalam sumber lain, tokoh ini adalah seorang pandita sakti) hendak mendirikan Kerajaan Galuh, Kampung Kuta dipilih untuk pusat kerajaan karena letaknya strategis.
Prabu Galuh memerintahkan kepada semua rakyatnya untuk mengumpulkan semua keperluan pembangunan keraton seperti kapur bahan bangunan, semen merah dari tanah yang dibakar, pandai besi, dan tukang penyepuh perabot atau benda pusaka. Keraton pun akhirnya selesai dibuat. Namun, pada suatu ketika, Prabu Galuh menemukan lembah yang (Kuta) oleh tebing yang dalamnya sekitar 75 m di lokasi pembangunan pusat kerajaan itu. Atas musyawarah dengan para punggawa kerajaan lainnya, diputuskanlah bahwa daerah tersebut tidak cocok untuk dijadikan pusat kerajaan (menurut orang tua, “tidak memenuhi Patang Ewu Domas”).
Selanjutnya, mereka berkelana mencari tempat lain yang memenuhi syarat. Prabu Galuh membawa sekepal tanah dari bekas keratonnya di Kuta sebagai kenang-kenangan. Setelah melakukan perjalanan beberapa hari, Prabu Galuh dan rombongannya sampai di suatu tempat yang tinggi, lalu melihat-lihat ke sekeliling tempat itu untuk meneliti apakah ada tempat yang cocok untuk membangun kerajaannya. Tempat ia melihat-lihat itu sekarang bernama “Tenjolaya”. Prabu Galuh melihat ke arah barat, lalu terlihatlah ada daerah luas terhampar berupa hutan rimba yang menghijau. Ia kemudian melemparkan sekepal tanah yang dibawanya dari Kuta ke arah barat dan jatuh di suatu tempat yang sekarang bernama “Kepel”. Tanah yang dilemparkan tadi sekarang menjadi sebidang sawah yang datar dan tanahnya berwarna hitam seperti dengan tanah di Kuta, sedangkan tanah di sekitarnya berwarna merah. Prabu Galuh melanjutkan perjalanannya sampai di suatu pedataran yang subur di tepi Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy, lalu mendirikan kerajaan di sana.
Cerita selanjutnya tentang Prabu Galuh tersebut hampir mirip dengan cerita Ciung Wanara dalam naskah Wawacan Sajarah Galuh, bahwa Prabu Galuh kemudian digantikan oleh patihnya, Aria Kebondan (dalam naskah disebut Ki Bondan). Prabu Galuh menjadi pertapa di Gunung Padang. Menurut versi tradisi lisan, Prabu Galuh meninggalkan dua orang istri, yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Saat itu, Dewi Naganingrum sedang mengandung. Ketika Dewi Naganingrum melahirkan, Dewi Pangrenyep menukar bayinya dengan seekor anak anjing. Bayi itu kemudian dihanyutkan ke Sungai Citanduy. Melihat Dewi Naganingrum beranak seekor anjing, Aria Kebondan yang menjadi raja di Galuh menjadi marah, lalu menyuruh Lengser membunuhnya. Namun, Lengser itu tidak membunuh Dewi Naganingrum, tetapi menyembunyikannya di Kuta. Adapun bayi yang dibuang ke Sungai Citanduy itu kemudian ditemukan oleh Aki Bagalantrang di depan badodon (tempat
menangkap ikan)-nya. Bayi itu dipungut dan diasuh oleh Aki Bagalantrang
hingga remaja, lalu diberi nama Ciung Wanara. Tempat Aki Bagalantrang
mengasuh bayi itu sekarang disebut daerah “Geger Sunten”, sekitar 6 km
dari Kuta. Ciung Wanara kemudian merebut kembali Kerajaan Galuh dari
Aria Kebondan melalui sabung ayam, sebagaimana yang diceritakan dalam
naskah. Setelah Ciung Wanara menjadi raja, Lengser pun menjemput Dewi
Naganingrum sehingga bisa berkumpul kembali dengan anaknya.
Di Kampung Kuta terdapat mitos tentang
Tuan Batasela dan Aki Bumi. Diceritakan bahwa bekas kampong Galuh yang
telah diterlantarkan selama beberapa lama ternyata menarik perhatian
Raja Cirebon dan Raja Solo. Selanjutnya, masing-masing raja tersebut
mengirimkan utusannya untuk menyelidiki keadaan di Kampung Kuta. Raja Cirebon mengutus Aki Bumi, adapun Raja Solo mengutus Tuan Batasela. Raja Cirebon
berpesan kepada utusannya bahwa ia harus pergi ke Kuta, tetapi jika
didahului oleh utusan dari Solo, ia tidak boleh memaksa jadi penjaga
Kuta. Ia harus mengundurkan diri, tetapi tidak boleh pulang ke Cirebon
dan harus terus berdiam di sekitar daerah itu sampai mati. Pesan yang
sama juga didapat oleh utusan dari Solo. Pergilah kedua utusan tersebut
dari kerajaannya masing-masing. Utusan dari Solo, Tuan Batasela,
berjalan melalui Sungai Cijolang sampai di suatu kampung, lalu
beristirahat di sana
selama satu malam. Jalan yang dilaluinya itu hingga saat ini masih
sering dilalui orang untuk menyeberang dari Jawa Tengah ke Jawa Barat.
Penyeberangan itu diberi nama “Pongpet”. Adapun Aki Bumi dari Cirebon langsung menuju ke Kampung Kuta dengan melalui jalan curam, yang sampai saat ini masih ada dan diberi nama “Regol”, sehingga tiba lebih dulu di Kampung Kuta. Sesampainya di sana,
Aki Bumi menemui para tetua kampung dan melakukan penertiban-
penertiban, seperti membuat jalan ke hutan dan membuat tempat
peristirahatan di pinggir situ yang disebut “Pamarakan”. Karena telah
didahului oleh utusan dari Cirebon, Tuan Batasela kemudian terus bermukim di kampung tempat ia bermalam, yang terletak di utara Kampung Kuta.
Konon, utusan dari Solo itu kekurangan makanan, lalu meminta-minta
kepada masyarakat di Kampung itu, tetapi tidak ada yang mau memberi.
Keluarlah umpatan dan sumpah dari Tuan Batasela yang mengatakan bahwa
“Di kemudian hari, tidak akan ada orang yang kaya di Kampung itu.”
Ternyata, hingga saat ini rakyat di Kampung itu memang tidak ada yang
kaya. Karena menderita terus, Tuan Batasela kemudian bunuh diri dengan
keris. Darah yang keluar dari luka Tuan Batasela berwarna putih, lalu
mengalir membentuk parit yang kemudian disebut “Cibodas”. Kampung itu
pun diberi nama Kampung Cibodas. Tuan Batasela dimakamkan di tengah-
tengah persawahan di sebelah utara Kampung Cibodas. Makamnya masih ada
hingga saat ini. Aki Bumi terus menjadi penjaga (kuncen) Kampung Kuta
sampai meninggal, lalu dimakamkan bersama keluarganya di tengah-tengah
Kampung, yang sekarang termasuk Kampung Margamulya. Tempat makam itu
disebut “Pemakaman Aki Bumi”. Setelah keturunan Aki Bumi tidak ada lagi,
Raja Cirebon memerintahkan bahwa yang menjadi kuncen di Kampung Kuta berikutnya adalah orang-orang yang dipercayai oleh Aki Bumi, yaitu para leluhur kuncen Kampung Kuta saat ini.
Mitos-mitos yang dituturkan oleh
tradisi lisan terkadang mempunyai keterkaitan dengan mitos yang
diceritakan dalam sumber naskah. Keterkaitan itu kemudian menimbulkan
pertanyaan bagi kita, apakah si penutur mitos yang bersumber pada naskah
atau naskah yang ditulis berdasarkan penuturan. Jika dirujuk pada
usianya, maka tradisi lisan telah ada sebelum tulisan muncul sehingga
dapat diasumsikan bahwa naskah ditulis berdasarkan cerita yang
dituturkan. Tradisi lisan yang terus ada hingga saat ini, seperti yang
dituturkan oleh para kuncen atau tukang cerita, terdapat dua
kemungkinan mengenai asal-usulnya. Pertama, tradisi lisan itu
berdasarkan cerita naskah yang dibaca kemudian dituturkan kembali.
Kedua, tradisi lisan itu memang belum pernah dituliskan dalam bentuk
naskah, lalu dituturkan secara turun-temurun. Adanya perbedaan versi
suatu cerita yang dituturkan dalam naskah dan tradisi lisan disebabkan
oleh beberapa kemungkinan, yaitu perbedaan sumber cerita, distorsi
cerita karena pewarisan cerita yang turun-temurun memungkinkan
terjadinya penambahan ataupun pengurangan isi cerita, dan adanya
keinginan dari penutur cerita untuk mengedepankan peranan seorang tokoh
ataupun berapologia atas kesalahan tokoh tersebut. Demikian pula dengan
cerita tentang Kampung Kuta di atas. Ada
beberapa bagian yang hampir mirip dengan cerita yang dikemukakan dalam
naskah dan ada pula yang berbeda jalan ceritanya. Adapun mengenai
kebenaran isi cerita atau mitos tersebut bukanlah suatu permasalahan.
Setidaknya, mitos-mitos tersebut dihormati dan dipelihara oleh
masyarakatnya. Lebih jauh, bukankah ilmu pengetahuan juga pada awalnya
berkembang dari bentuk pemikiran mitis. Hingga saat ini, Kampung Kuta
tetap dilestarikan sebagai kampung adat atau petilasan. Masyarakatnya
masih memelihara dan melestarikan tradisi-tradisi leluhur mereka.
Pantangan-pantangan pun dibuat untuk menjaga kelestarian tradisi itu,
seperti larangan membuat rumah dari tembok dan memakai atap genteng,
larangan mengubur mayat orang dewasa kecuali bayi kecil dan dalamnya pun
tidak melebihi pangkal paha, larangan menggali sumur terlalu dalam,
larangan mementaskan wayang, larangan meminum minuman keras, tidak boleh
sombong atau menentang adat kuta, dan sebagainya.
Dengan masih bertahannya Kampung Kuta
sebagai Kampung Adat yang berada di Ciamis ini, sepatutnya harus kita
banggakan, karena dengan adanya Kampung Kuta sebagai Kampung Adat yang
masih bertahan menunjukkan bahwai masih ada pelestari kebudayaan yang
masih eksis hinga saat ini. Mari kita lestarikan warisan kebudayaan
leluhurD