MANTAN
Rektor IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Rachmat Djatnika berbicara
bahwa, sebelum agama Islam datang ke tatar Sunda, orang Sunda telah
memiliki budaya, yang menjadi adat-istiadatnya. Gambaran ajaran dan
budaya Sunda itu dapat dilihat dari pepatah-petitih, nasihat-nasihat,
yang biasa didendangkan oleh anak-anak atau para remaja, yang merupakan
hasil gubahan para bujangga Sunda.
Setelah
Islam masuk ke tatar Sunda, baik dari arah barat maupun timur laut,
Islam dianut oleh sebagian besar orang Sunda. Agama Islam tidak sulit
dianut oleh orang Sunda, sebab ajaran Alquran dalam hakikatnya banyak
memiliki kemiripan dengan adat yang sudah ada, meskipun materinya
berbeda.
Wacana
Islam adalah Sunda atau Sunda adalah Islam telah lama kita dengar dari
berbagai kalangan. Pelbagai sudut pandang tentang wacana ini telah
dikemukakan oleh para cendikiawan maupun budayawan. Sebagai gambaran,
Teddy A.N. Muhtadin dan Deni Ahmad Fajar dengan apik dan baik telah
menyusun kumpulan makalah ataupun tulisan ilmiah lainnya yang mengupas
fenomena ini dalam satu buku yang diberi judul “Islam dan Sunda dalam
Akulturasi Timbal Balik.”
Islam dan Sunda adalah ibarat gula jeung peueutna,
keduanya tak mudah dipisahkan, menyatu dalam satu racikan nan bermutu.
Orang Sunda tidak dikatakan Sunda kalau tidak ngislam, begitu pun
sebaliknya, tidak afdal rasanya jika orang Islam di tatar Sunda jika
tidak nyunda. Keduanya saling memberi juga saling melengkapi. Hal ini
tidak hanya diakui oleh orang Sunda sendiri. Bahkan seorang misionaris
sekelas Snouck Hourgronje sekalipun pernah mengatakan bahwa, selain
Urang Minang, Ki Sunda juga dikenal sangat kental dengan keislamannya.
Islam-Sunda
atau Sunda-Islam getarannya dapat dirasakan dalam pelbagai dimensi
kehidupan. Termasuk dalam karya sastra. Sapardi Djoko Damono pernah
bilang bahwa, sastra menampilkan gambaran kehidupan. Sastra berurusan
dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia untuk menyesuailkan diri
dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Saini K.M lalu menanggapi,
karya sastra yang dihasilkan pengarang harus melewati suatu proses
kegiatan yang dinamakan kreativitas (rancage). Unsur
terjelmanya kreativitas diperlukan dua unsur. Yaitu kesadaran manusia,
yang memayungi kepekaannya, pikirannya, perasaan dan hasratnya. Dan
unsur yang kedua adalah realitas, yaitu rangsangan-rangsangan,
sentuhan-sentuhan, dan masalah-masalah yang melingkupi dan menggiatkan
manusia itu.
Karena
kehidupan masyarakat etnis Sunda terkenal dengan keislamannya, maka
kerancagean para pengarang Sunda dalam bersastra hasilnya pun tidak akan
jauh dari karya-karya yang berbau religius.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kata Religius berarti hal yang bersifat
religi, bersifat keagamaan: Religi kepercayaan akan adanya kekuatan
adikodrati di atas manusia: Kepercayaan (animisme,dinamisme): agama.
Sedangkan menurut Subijantoro Atmosuwito religius berasal dari kata latin religare berarti mengikat, religio
berarti ikatan atau pengikatan, dalam arti bahwa, manusia harus
mengikatkan diri pada Tuhan. Adapun religius adalah keterikatan manusia
terhadap Tuhan sebagai sumber ketenteraman dan kebahagiaan.
**
DALAM ajaran Islam istilah religius pengertiannya sepadan dengan istilah aqidah. Menurut Nashir Abdul Karim, aqidah menurut bahasa berasal dari kata aqad, ‘ikatan’, penguatan, pemantapan dan pengikatan dengan kuat. Sedangkan menurut istilah, aqidah adalah keimanan yang teguh, yang tidak dihinggapi suatu keraguan apa pun bagi pemiliknya.
Subijantoro Atmosuwito lalu memberi definisi bahwa, religiusitas adalah religius feeling or sentiment
atau perasaan keagamaan, perasaan keagamaan adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan Tuhan. Misalnya perasaan berdosa, perasaan takut, dan
kebesaran Tuhan.
Sedangkan
menurut Sayid Sabiq, religiusitas adalah keimanan, keimanan merupakan
akidah dan pokok, yang di atasnya berdiri syari’at Islam, kemudian dari
pokok itu keluarlah cabang-cabangnya yang berupa perbuatan (amal).
Perbuatan dan keimanan, atau dengan kata lain aqidah dan syari’at.
Keduanya itu antara satu dengan yang lain sambung-menyambung,
berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Nilai
religius Islam dalam sastra Sunda dapat dilihat dari pelbagai sudut
pandang. Bisa dari nama dan asal pengarangnya. Judul karangan yang
diberikannya. Ataupun hakikat karangan yang dibuatnya.
Nama dan asal pengarang merupakan pamuka lawang
untuk meraba apakah karya tersebut bermuatan religius atau tidak.
Tentunya nama-nama pengarang yang berawalan Taufik, Rahmat, Muhammad,
Hidayat, Fitri, Anisa, atau Abdullah serta nama-nama yang berakhiran
Maulana, Mubarok, Musa, ataupun Nurzaman selain nama-nama tersebut
memang telah menjadi ciri khas nama-nama orang Sunda (Taufik menjadi
Opik, Muhammad menjadi Mamad atau Omod, dan Abdullah menjadi Adul),
nama-nama itu pun kuat dengan unsur keislamannya, karena nama-nama
tersebut dicomot dari nama-nama pinilih yang terdapat dalam Alhadis atau Alquran.
Tempat
asal pengarang merupakan unsur pendukung untuk membedah sebuah karya.
Tentunya karya-karya pengarang yang tadinya berdomisili dari pesisir
pantai dibandingkan dengan pengarang yang dumuk di pegunungan akan
terasa perbedaannya. Pengarang yang berasal dari desa akan berbeda
dengan pengarang yang tinggal di kota. Baik beda penggunaan bahasanya
pun tema yang diangkatnya. Sebagai contoh karya-karya Hadi Aks (berasal
dari pesisir Banten) atau Darpan Ariawinangun (berasal dari pesisir
Karawang) amat berbeda dengan karya-karya Dadan Sutisna atau Dian
Hendrayana, misalnya. Begitupula yang berkaitan dengan karya sastra yang
bertendensi religius. Karya-karya Aam Amilia yang besar di kota
metropolit Bandung (novel atau carponnya umumnya berkisahkan
remaja-remaja kota) amat berbeda dengan karya-karya yang dihasilkan oleh
Sarabunis Mubarok (karyanya menceritakan kehidupan desa) yang memang
besar di lingkungan pesantren, yakni “kota santri” Tasikmalaya
**
JUDUL
karangan dalam sebuah karya sastra merupakan daya tarik pertama yang
ditawarkan kepada pembaca. Bagus jeleknya sebuah karya biasanya dapat
tergambar dalam pemilihan judulnya. Sejak dulu judul-judul karangan
dalam sastra Sunda nuansa religiusnya begitu kental kadar keislamannya.
Sebagai bukti: “Wawacan Muslimin-Muslimat,” “Babad Mekah,” “Sajarah Ambiya,” “Wawacan Parasa Adam,” “Wawacan Layang Syeh,” “Hadis Iblis,” atau “Wawacan Lampahing Para Wali Kabeh.”
Itu dari karya sastra lama. Dalam sastra Sunda modern pun terdapat
judul-judul yang memang mendeskripsikan nuansa religius keislaman,
seperti, “Jiad Ajengan” dan “Ceurik Santri” karya Usep Romli, “Dongeng
Enteng ti Pasantren” karya R.A.F., “Pahlawan-pahlawan ti Pasantren”
karya S.A. Hikmat, atau “Siti Masyitoh” karya Ajip Rosidi, untuk
menyebut beberapa judul saja.
Sedangkan
hakikat karangan yang disodorkan oleh pengarang merupakan inti sari
dari nilai-nilai religius Islam. Dalam tataran ini nama dan asal
pengarang serta judul karangan bukanlah harga mati untuk menghakimi
kadar kereligiusan sebuah karya. Karena menurut Usep Romli, bagi
sastrawan Sunda, Islam bukan satu masalah yang harus diperdebatkan.
Tetapi sudah menjadi unsur yang bersatu padu. Karena itu, unsur-unsur
keislaman dalam sastra Sunda, terasa, teraba, dan terlihat
berkesinambungan melalui bangunan sastra seutuhnya, serta diterima,
dijalankan, dikerjakan tanpa reserve.
Tidak
menutup kemungkinan walaupun orang dan judul karangannya berbau “kiri”
tetapi isinya lebih islami dari karya-karya yang menjual perkara
keislaman. Lihatlah karya-karya Ki Umbara yang terkumpul dalam buku Urang Desa,” atau pada karangan-karangan lainnya yang sempat berserakan dalam majalah Mangle,
dengan judul-judul karangan yang terkesan mistis, seperti “Diwadalkan
ka Siluman,” “Nyupang,” dan “Kasilib,” misalnya, tetapi setelah membaca
secara keseluruhan justru karya-karya yang berbau jurig itu
justru tendensi unsur religius Islamnya begitu kental. Ki Umbara, dalam
setiap karyanya seakan mengingatkan bahwa, yang namanya setan, pocong, wewe gombel, gederuwo, kuntilanak,
atau apapun namanya adalah tidak ada. Itu semua hanya khayalan manusia
saja. Dan ketakutan kita pada makhluk halus tersebut dapat dikalahkan
jika kita beriman dengan taat.
Jelas,
memang karya-karya dalam sastra Sunda sangat kental unsur religiusnya,
terutama religius Islam. Hal ini sesuai dengan pendapat yang pernah
dikemukakan oleh Usep Romli bahwa, dalam setiap karyanya, baik prosa
maupun pusisi, dari karya baheula hingga karya teranyar, hampir
semua pengarang pernah mengekspresikan keyakinannya selaku muslim.
Meskipun tidak selamanya masalah keislaman dijadikan tema, tetapi warna
keislaman selalu kentara.
Kentalnya
unsur religius dalam sastra Sunda bukanlah omong kosong belaka.
Kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam tiga genre
sastra berbeda; baik prosa (carpon, carita pondok), puisi, pun
drama unsur religius Islam memang amat kentara dalam khazanah sastra
Sunda. Setidaknya tiga orang sarjana telah membuktikannya. Mereka itu
adalah: Ence Ali Sajidin dengan judul skripsi “Aspek Religiusitas Naskah
Drama Carem” Karya R.H. Hidayat Suryalaga; Munawar Holil dengan judul
skripsi “Aspek Religius Dalam Kumpulan Cerpen Jiad Ajengan karya Usep
Romli”; dan Asrimaya Tejawulan dengan judul skripsi Religius “Islam
Dalam Kumpulan Puisi Kalakay Mega karya Soni Farid Maulana.”
Rekreasi
karya-karya sastra yang bernuansa religius terus belangsung. Baik dalam
genre wawacan, sisindiran, guguritan hingga genre sajak, carpon
dan drama. Melihat fenomena semakin banyaknya karya sastra yang
dikhususkan bermuatan keagamaan, terutama setelah karya-karya Ki Umbara
banyak mewarnai khazanah sastra Sunda, Ajip Rosidi menamai karya sastra
yang menekankan pada unsur religius itu dengan istilah “sastra dakwah.”
Kiwari, sastra dakwah tidak hanya menjamur di petamanan sastra Sunda saja, dalam sastra Indonesia pun sami mawon. Apakah hal ini petanda kila-kila
yang dilontarkan John Naisbith dan Patricia Aburden telah sampai pada
uganya, dalam ramalannya, beliau berkata, pada abad XXI agama dan bahasa
daerah akan menjadi dagangan penting. Wallohualam.***
Sumber : sukapura.wordpress.com