Kampung Dukuh konon
didirikan oleh Syeikh Abdul Djalil. Seorang ulama dari Sumedang di era
kekuasaan Bupati Rangga Gempol, abad 16-17 Masehi. Karena kecewa akan
janji Bupati untuk menerapkan syariat Islam di tatar Sumedang yang tak
pernah terlaksana, akhirnya dia mengasingkan diri di Cikelet, Garut
Selatan. Di situlah Syeikh Abdul Djalil membuka Kampung Dukuh berikut
adat istiadatnya. Makamnya terletak di sisi timur Kampung Dukuh.
Kala itu, Syeikh Abdul
Djalil, penduduk Nusa Jawa, menimba ilmu di tanah suci Mekkah. Setelah
ilmunya cukup, gurunya meminta agar Syeikh Abdul Djalil pulang ke
kampung halamannya. Namun Syaikh keberatan, dengan alasan ingin
menghabiskan sisa hidupnya di Makkah. Guru Syeikh maklum dengan itikad
baik muridnya. Namun ia tetap berharap supaya muridnya itu kembali ke
tanah air.
Untuk
itu, beliau memberinya segenggam tanah dan sekendi air suci dari
Mekkah. Syeikh Abdul Djalil merupakan sosok yang taat dan patuh terhadap
gurunya. Dan pada akhirnya, Syeikh pun menerima semua permintaan
gurunya. Selanjutnya, sang guru berpesan supaya tanah tersebut
ditaburkan di tempat yang dianggap cocok dengan nuraninya, sementara air
di dalam kendi di tanam di tanah tersebut. Syaikh Abdul Djalil
menyetujui, lalu ia kembali ke Mataram.
Pada
suatu waktu, di daerah Sumedang yang saat itu diperintah oleh penguasa
bernama Rangga Gempol sedang membutuhkan seorang penghulu. Bahkan Rangga
Gempol sampai mengirim utusan hingga ke Mataram. Oleh penguasa Mataram,
ditunjuklah Syaikh Abdul jalil untuk menjadi penghulu di daerah
Sumedang. Syeikh Abdul Djalil bersedia menjadi penghulu di Sumedang,
namun dengan satu permintaan. Yakni agar Bupati dan rakyatnya bersatu
padu dan saling bahu membahu dan tidak boleh melanggar aturan hukum dan
sara’ (Alquran dan Alhadist).
Syarat
itu pun disanggupi oleh Rangga Gempol. Setelah Syeikh Abdul Djalil
menjabat sebagai penghulu selama 12 atahun, ia berkeinginan untuk
melaksanakan ibadah haji dan Rangga Gempol mengijinkan. Ketika Syeikh
Abdul Djalil sedang berada di tanah suci Mekkah, penguasa Sumedang
kedatangan utusan dari Banten dnegna maksud meminta agar penguasa
Sumedang tidak mengabdi ke Mataram melainkan mengabdi ke Banten.
Mendengar
keinginan dua utusan dari Banten itu, Rangga Gempol tidak langsung
memutus. Namun ia minta waktu untuk mempertimbangkan. Selanjutnya, kedua
utusan itu pun kembali ke Banten. Namun ketika berada di daerah Parakan
Muncang, keduanya dibunuh atas perintah penguasa Sumedang, dengan
alasan jika dibiarkan hidup dan tiba di Banten, dikhawatirkan akan
terjadi hruu-hara di Sumedang.
Setelah
sekian lama di Mekkah, Syeikh Abdul Djalil kembali ke tatar Sumedang.
Namun, kejadian kedatangan dan pembunuhan atas utusan dari Banten
ditutup-tutupi agar tidak diketahui Syeikh Abdul Djalil. Namun informasi
tersebut akhirnya diketahui juga lewat seorang tangna kanannya yang
bernama Sutawijaya. Mendengar laporan itu, Syeikh Abdul Djalil marah dan
saat itu juga ia mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai penghulu.
Selanjutnya ia pergi dari Sumedang dan mengembara ke daerah Batuwangi
Singajaya Garut dan menetap selama kurang lebih 3,5 tahun.
Selama
itu, Syeikh Abdul Djalil terus berdoa agar ditunjukkan sebuah tempat
yang cocok untuk dijadikan tempat tinggalnya. Kemudian Syeikh Abdul
Djalil mengembara lagi ke daerah Tonjong Cisanggiri, Pameungpeuk. Di
tempat itu, Syeikh Abdul Djalil menetap kurang lebih 1,5 tahun. Tepat
pada hari Jumat Kliwon, 12 Mulud tahun Alif, Syeikh Abdul Djalil melihat
cahaya terang yang menyorot dari dalam tanah kira-kira sebesar pohon
kawung (aren).
Melihat
kejadian itu, Syeikh bergegas menghampiri asal cahaya. Ternyata di
tempat itu terdapat sebuah rumah yang ditempati sepasang suami istri
yang sedang berladang. Belakangan diketahui bahwa peladang bernama Aki
Chandra dan Nini Chandra yang berasal dari cidamar Cianjur. Konon tempat
itulah yang kemudian menjadi Kampung Adat Dukuh.
Ketika
Syeikh Abdul Djalil datang, keduanya langsung menyerahkan tempat
tersebut. Selanjutya, Nini dan Aki Chandra kembali ke daerah asalnya di
Cidamar, Cianjur. Penduduk Cidamar sangat menyayangkan sikap Aki dan
Nini Chandra yang kembali ke kampung halaman. Seharusnya, Aki dan Nini
Chandra tetap tinggal di tempat itu dan menimba ilmu dari Syeikh Abdul
Djalil. Rupanya, saran penduduk Cidamar itu bisa diterima. Mereka
akhirnya memutuskan untuk kembali ke tempat itu. Namun di tengah
perjalanan, Aki dan Nini Chandra meninggal dunia dan dimakamkan di
Palawa Chandra Pamulang.
Keunikan Kampung Dukuh
Kampung Dukuh adalah
kampung adat yang memiliki keunikan tersendiri. Pola kehidupan sarat
nilai-nilai luhur. Masyarakatnya hidup di rumah-rumah panggung yang
sederhana. Bangunan berwujud empat persegi panjang dari kayu atau bambu
beratap daun ilalang yang dilapis ijuk. Semua bangunan menghadap ke
Barat dan Timur. Di sinilah kesahajaan hidup plus tata nilai yang tulus
dalam peradaban masih bisa disaksikan.
Memang, rumah-rumah
panggung itu hanya boleh menghadap ke Barat dan Timur. Adalah pantang
bagi mereka membuat pintu yang menghadap ke Utara. Tak jelas benar apa
alasannya. Namun ciri itu menciptakan satu keseragaman yang unik. Selain
itu, Masing masing rumah memiliki halaman memanjang seperti jalan
setapak yang membujur di muka dan di belakangnya.
Secara
geografis, Kampung Dukuh terletak pada ketinggian 390 mdpl dengan suhu
rata-rata 26 derajat celcius. Secara administratif, kawasan ini terletak
di Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, dengan batas-batas sebelah Utara
Kampung Palasari (Desa Karangsari), sebelah Selatan Kampung Cibalagung
(Desa Cijambe), sebelah Timur Kampung Nangela (Desa Karangsari), dan
sebelah Barat Kampung Ciawi (Desa Cijambe).
Kampung
Dukuh berjarak 101 km dari ibukota Garut dan 160 km dari Bandung
sebagai ibukota provinsi. Kampung ini berada di lembah Gunung Dukuh yang
dekat mata air. Bentuk bangunan seperti disebut di atas merupakan
ketentuan adat dan keharusan yang tidak boleh dilanggar. Sehingga bila
dilihat dari atas pegunungan, maka pemandangan Kampung Dukuh tampak
bagai kotak-kotak mungil yang tertata rapi dan indah.
Di
dalam kawasan Kampung Dukuh terdapat 42 rumah dan sebuah bangunan
Mesjid. Terdiri dari 40 Kepala keluarga serta jumlah penduduk 172 orang
untuk Kampung Dukuh Dalam dan 70 kepala keluarga untuk Kampung Dukuh
Luar. Mata pencaharian utama adalah bertani, beternak ayam, bebek,
kambing, domba, kerbau, memelihara ikan dan usaha penggilingan padi.
Kampung
adat ini memiliki luas 10 ha dengan jumlah penduduk 450 jiwa, yang
tergabung ke dalam 90 KK. Terdiri dari dua daerah pemukiman yaitu Dukuh
Dalam dan Dukuh Luar. Di sebelah Timur kampung ini terdapat satu pranata
lain yang juga dihormati. Yakni sebuah pemakaman yang disebut dengan
"Makam Karomah" (tanah larangan). Itulah makam pendiri Kampung Dukuh dan
kerap diziarahi masyarakat dari berbagai tempat. Hanya saja, tak
sembarangan orang boleh memasukinya. Hari ziarah pun ditentukan hanya
Sabtu dengan aturan-aturan khas. Ketiganya dibatasi oleh pagar yang
terbuat dari kayu dan bambu.
Saat
ini, kedudukan Kampung Dukuh sebagai pusat adat hanya merupakan sebuah
kampung dari 18 kampung dalam kapunduhan Ciroyom. Keadaan ini
menunjukkan bahwa keberadaan kampung adat sangat lemah sekali
dibandingkan kedudukan Desa yang menjalankan sistem administrasi
pemerintahan negara.
Belum
lagi bila dibandingkan dengan kedudukan dalam satu kawasan ulayat yang
terdiri dari dua desa, yaitu Karangsari dan Cijambe. Hal ini membuat
komunitas adat ini makin terjepit dan nyaris hanya jadi sekedar monumen
saja. Akan tetapi, secara spiritual, karomah Kampung Dukuh masih tetap
besar. Masyarakat di dalam kawasan ini masih bangga mengakui sebagai
komunitas Dukuh yang tetap mengikuti pola hidup secara adat.
Keunikan
Kampung Dukuh adalah keseragaman struktur dan bentuk arsitektur
bangunan pemukimannya. Terdiri beberapa puluh rumah yang tersusun pada
kemiringan tanah yang bertingkat. Setiap tingkatan terdapat sederetan
rumah yang membujur dari Barat ke Timur. Kampung Dukuh merupakan wilayah
dengan suasana alam dan budaya religi kuat. Masyarakat di sini memiliki
pandangan hidup berdasar pada sufisme Mazhab Imam Syafii. Landasan
budaya tersebut mempengaruhi bentuk fisik wilayah tersebut serta adat
istiadat masyarakat. Masyarakatnya pun sangat menjunjung harmonisasi dan
keselarasan hidup.
Paham
itulah yang membawa pengaruh pada penerapan budaya hidup sederhana.
Tengoklah pada bentuk bangunan di Kampung Dukuh yang tidak menggunakan
dinding dari tembok dan atap dan genteng serta jendela kaca. Ini menjadi
salah satu aturan yang dilatarbelakangi alasan bahwa hal yang berbau
kemewahan akan mengakibatkan suasana hidup bermasyarakat menjadi tidak
harmonis.
Di
kampung ini tidak diperkenankan adanya listrik dan barang-barang
elektronik. Sebab barang-barang semacam itu dipercaya selain ada
manfaatnya, namun mudharatnya lebih besar lagi. Alat makan yang
dianjurkan terbuat dari pepohonan dan alam sekitar. Misalnya terbuat
dari bambu, batok kelapa dan kayu. Material tersebut dipercaya lebih
memberikan manfaat ekonomis dan kesehatan, karena bahan tersebut tidak
mudah hancur atau pecah dan dapat menyerap kotoran.
Pada
hari Kamis, 5 Oktober 2006, kampung ini mengalami kebakaran hebat.
Sebanyak 51 dari 96 bangunan yang ada terbakar bersama isinya. Benda
pusaka yang disimpan di
Panyepenan ikut musnah pula. Para sepuh Kampung Dukuh menyebut musibah
itu sebagai ”geus nepi kana ugana” (sudah sampai kepada ugah-nya). Hal
ini berpegang pada ramalan masyarakat Kampung Dukuh yang berbunyi : ”Di
ahir jaman bakal loba parahu/ Urang Dukuh mah makena parahu belang. (Di
akhir zaman nanti akan terdapat banyak perahu. Orang Dukuh akan memakai
perahu belang).”
Ugah
atau ramalan yang disebutkan para tokoh masyarakat adat Dukuh tersebut
ditafsirkan, bahwa suatu saat nanti, orang Dukuh akan mengalami
kehancuran dan setelah hancur akan tumbuh kembali setelah datang Ratu
Adil yang membangun kembali Dukuh.
Ritual dan Pantangan di kampung dukuh
Kampung Dukuh
merupakan salah satu perkampungan tradisional (kampung adat) yang masih
menganut kepercayaan nenek moyang, masyarakat masih mematuhi Kasuaran
Karuhun (tabu atau nasihat Leluhur). Dan kuatnya memegang aturan inilah
yang membuat Kampung Dukuh masih lestari.
Beberapa tradisi yang
hingga kini kerap dilaksanakan diantaranya upacara Moros. Yakni salah
satu manisfestasi masyarakat Kampung Dukuh dengan memberikan hasil
pertanian kepada pemerintah menjelang Idul Fitri dan Idul Adha. Selain
itu, ada juga ritual Ngahaturan Tuang. Kegiatan ini dilakukan masyarakat
Kampung Dukuh atau pengunjung yang berasal dari luar apabila mereka
memiliki keinginan-keinginan tertentu seperti kelancaran usaha,
perkawinan, jodoh, dengan cara memberikan bahan makanan seperti garam,
telur ayam, kelapa, kambing atau barang dan mahluk lainnya sesuai
kemampuan Nyanggakeun.
Nyangggakeun ini
merupakan suatu kegiatan penyerahan sebagian hasil pertanian kepada
kuncen untuk diberkahi. Masyarakat tidak diperbolehkan memakan hasil
panen sebelum melakukan kegiatan nyanggakeun. Ada juga upacara Tilo
Waktos. Ritual ini hanya dilakukan oleh Kuncen yaitu membawa makanan ke
dalam Bumi Alit atau bumi Lebet untuk tawasul. Kuncen membawa sebagian
makanan ke Bumi Alit lalu berdoa, dilakukan pada hari raya 1 Syawal, 10
Rayagung, 12 Maulid, dan 10 Muharam.
Kemudian
ritual Manuja. Yakni penyerahan bahan makanan dari hasil bumi kepada
Kuncen untuk diberkahi pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha untuk
maksud perayaan Mares. Kebiasaan menyerahkan hasil bumi yang dimiliki
kepada aparat pemerintah seperti Lurah dan Camat.
Selain
itu dikenal pula upacara Cebor Opat Puluh. Yakni Mandi dengan empat
puluh kali siraman dengan air dari pancuran dan dicampur dengan air
khusus yang telah diberi doa-doa pada jamban umum. Lalu upacara Jaroh
yang merupakan suatu aktivitas keagamaan yang berbentuk ziarah ke makam
Syekh Abdul Jalil tetapi sebelumnya harus melakukan mandi ceor opat
puluh dan mengambil air wudhu serta menanggalkan semua perhiasan dan
menggunakan pakaian yang tidak bercorak.
Upacara
Shalawatan dilakukan pada hari Jumat di rumah Kuncen. Shalawatan
dilaksanakn sebanyak 4444 yang dihitung dengan menggunakan batu
Sebelasan. Dilakukan setiap tanggal 11 dalam perhitungan bulan Islam
dengan membaca Marekah Terbang Gembrung. Kegiatan terbang gembrung ini
dilakukan pada tanggal 12 Maulud yang dilakukan para orang tua Kampung
Dukuh. Ada pula upacara Terbang Sejak. Merupakan suatu pertunjukkan pada
saat perayaan seperti khitanan, dan pernikahan, ditampilkan
pertunjukkan debus.
Selain
hal di atas, terdapat beberapa hari besar di Kampung Dukuh seperti 1
Syawal, 10 Rayagung, 12 Maulid, dan 10 Muharam. Sedangkan hari-hari
penting diantaranya, Sabtu (pelaksanaan ziarah), Rebo Welasan (hari
terakhir bulab Sapar dimana semua sumber air, yang digunakan masyarakat
diberi jimat sebagai penolak bala, dan biasanya diwajibkan mandi), dan
14 Maulud. Tanggal ini dipercaya sebagai hari baik untuk menguji dan
mencari ilmu kepada guru dengan melakukan cebor opat puluh.
Ada
beberapa larangan (tabu) yang harus dipatuhi masyarakat Kampung Dukuh.
Yang pertama, adalah tabu berdagang. Jadi, istilah jual beli tidak
dikenal, yang ada yaitu sebutan ngagentosan (mengganti). Berdagang
makanan matang dianggap pelanggaran berat. Namun seiring dengan
terjadinya perubahan sosial, di Dukuh Landeuh sudah ada warung yang
berjualan kebutuhan sehari-hari seperti jajanan anak-anak, garam, minyak
tanah, dan lain-lain.
Kuncen
membolehkan mereka berdagang, namun tidak boleh mencari untung besar
dari dagangannya itu dan niatnya adalah membantu warga dalam memenuhi
keperluannya. Namun berdagang makanan matang hasil masakan sendiri tetap
dilarang. Kadang ada pedagang yang datang dari luar juga. Kalau orang
kampung Dukuh ingin berdagang bebas harus di luar Kampung Dukuh karena
larangan hanya berlaku di dalam Kampung Dukuh.
Larangan
kedua adalah menjadi pegawai negeri atau PNS. Konon, Syekh Abdul Jalil
kecewa karena dibohongi atasannya (Bupati Rangga Gempol) yang
dianggapnya sebagai ambtenaar (pegawai negeri) sehingga sejak itu ia
bersumpah keturunannya tidak akan ada yang boleh menjadi pegawai negeri.
Itu sebabnya pula, Syekh Abdul Jalil melarang orang berdagang karena
menurutnya berdagang dekat dengan kebohongan dan selalu mencari keuntungan. Satu hal yang aneh, bahwa keturunan Habib bebas menjual minyak wangi kepada para pengunjung ziarah. Larangan
ketiga adalah memelihara binatang berkaki empat seperti sapi, kerbau,
dan kambing. Jadi, umumnya penduduk beternak unggas seperti ayam, bebek,
dan itik. Namun sejalan dengan tuntutan perubahan, di Dukuh Landeuh
sudah ada yang memelihara kambing.
Selain
tabu-tabu tersebut, masyarakat juga harus memenuhi aturan dalam
melakukan upacara di makam karomah yaitu ziarah ke makam karomah hanya
dilakukan setiap hari Sabtu. Ketika memasuki areal makam laki-laki harus
berpakaian sarung, baju takwa, dan totopong (ikat kepala), sedangkan
perempuan harus mengenakan samping/sinjang (kain), kebaya, dan kerudung,
dan dilarang mengenakan pakaian dalam, perhiasan, dan sandal/ sepatu.
Selain
itu, tidak boleh memakai pakaian bermotif (seperti batik), bordiran,
kaus , atau kemeja (hem). Selama berada di makam, tidak boleh merokok,
meludah, dan kencing; harus selalu memiliki wudu, tidak boleh membunuh
binatang dan merusak pepohonan yang
ada di areal makam. Ada yang dilarang masuk ke areal makam yaitu:
pegawai negeri, orang yang berpacaran, dan wanita yang sedang haid.
Masyarakat
Kampung Dukuh juga sangat menjaga lingkungan hidupnya. Mata air yang
terletak di lokasi karomah dipelihara kebersihannya dalam rangkaian
upacara jaroh (ziarah) setiap hari Sabtu. Penduduk tidak pernah
kekurangan air meskipun musim kemarau. Mata air juga terdapat di
leuweung (hutan) larangan.
Dalam
system adat kampung dukuh dikenal pembagian wilayah kekuasaan
berdasarkan fungsi dari wilayah tersebut. Terdapat 4 bagian wilayah yang
disebut dengann tanah tutupan, titipan, larangan dan tanah cadangan.
Berdasarkan keterangan dari kuncen, berikut ini adalah penjelasan dari
masing-masing wilayah tersebut.
Tanah Tutupan,
merupakan wilayah hutan yang ada disebelah utara kampung dukuh.
Merupakan wilayah hutan yang ada disekitar bukit. Hutan ini ditutup darI
berbagai usaha penebangan pohon, karena hutan ini merupakan daerah
sumber mata air bagi kampung dukuh.
Tanah Titipan
Tanah Cadangan,
merupakan wilayah hutan yang berada di berada di sekitar kampung dukuh
yang di disiapkan untuk kebutuhan masyarakat di masa datang.
Direncanakan sebagai tempat tinggalnya generasi dukuh yang hidup diluar.
Disiapkan untuk perkembangan masyarakat dukuh generasi berikutnya. Akan
tetapi saat ini daerah tersebut dikuasai oleh perhutani.
Tanah
Larangan, merupakan wilayah kekuasaan yang dimulai dari pagar kampung
sebelah selatan hingga hutan di wilayah Utara yang diikat oleh berbagai
pantangan dan tabu, terdiri dari 3 bagian, yaitu:
Tanah
Larangan Kampong, di wilayah perkampungan dukuh dalam masyarakat tidak
boleh membuat pintu rumah ke arah Utara. Selain itu tidak boleh
menyelonjorkan kaki ke arah utara juga. Hal ini karena dianggap tidak
menghormati makam syekh abdul jalil yang ada di maqam arah utara
kampong. Tanah Larangan Maqam, maqam berada di sebelah utara kampong,
di dalamnya terdapat maqamnya Syekh Abdul Jalil, para Habaib, para
kuncen, dan masyarakat dukuh lainnya. Tempat ini adalah titik sucinya
kampong dukuh, oleh karena itu tidak sembarangan orang bisa masuk
kedalam. Kemudian tanah larangan hutan, merupakan hutan yang melingkupi
wilayah maqom, tidak boleh dirusak, karena menjadi sumber mata air
disekitar maqom.
Sang Kuncen
Nada bicaranya lugas
dan tak ada kesan terpaksa. Asap rokok kretek dari mulutnya terus
menerus mengepul bagaikan kereta api. Rokok agaknya menjadi bagian tak
terpisahkan dari setiap tarikan nafasnya. Dengan bahasa Sunda yang
meledak-ledak, Pak Luluk menyampaikan wejangan-wejangan kepada warganya.
Dan itulah ciri khasnya.
Pak Luluk bernama asli
Lukman. Pria berusia 51 tahun ini menjabat Kuncen Kampung Dukuh
mewakili generasi ke-14. Jabatan kuncen dalam adat istiadat kampung ini
merupakan amanah turun temurun. Di pundak lelaki yang masih tampak muda
inilah segala hal menyangkut Kampung Dukuh dibebankan. Mulai mengurus
makam leluhur Syeikh Abdul Djalil hingga memimpin rapat-rapat warga,
menjadi tugasnya.
Jabatan
kuncen dalam ranah adat Kampung Dukuh berasal dari seseorang bernama
Eyang Dukuh. Di ceritakan bahwa sebagai pendiri Kampung Dukuh, Syekh
Abdul Djalil mempunyai pengawal setia bernama Eyang Hasan Husen. Hasan
Husein ini tiada lain adalah putera kandung dari Syeikh Abdul Djalil.
Nah, untuk tugas-tugas sehari-hari, Eyang Dukuh kemudian diberi tugas
sebagai pelaksananya. Bahkan Syaikh Abdul Djalil telah memberi amanah
untuk merawat dan menjaga makamnya bila ia dan keturunannya meninggal
dunia kelak.
Eyang
Dukuh ini juga mewarisi amanah untuk meneruskan nilai dan adat istiadat
Kampung Dukuh. Dan setelah Syeikh Abdul Djalil wafat, Eyang Dukuh-lah
yang secara otomatis kemudian menjadi Kuncen Kampung Dukuh. Istilah
kuncen dalam masyarakat Kampung Dukuh merupakan pemimpin dan pemegang
tradisi Kampung Adat Dukuh sebagai warisan dari ajaran Syeikh Abdul
Djalil.
Adapun
tugas kuncen antara lain melakukan Munjungan, yakni membawa makanan ke
Bumi Alit (rumah peninggalan Aki dan Nini Chandra). Kemudian makanan
tersebut dibacakan doa supaya mendapat berkah bagi pribadi kuncen maupun
bagi peziarah dan para tamu. Dalam seminggu, pelaksanaan munjungan
dilaksanakan pada hari Sabtu ba’da Dzuhur. Hari Minggu dilaksanakan
pagi, Senin ba’da Dzuhur, Selasa dilaksanakan pagi, hari Kamis pada
Sore, dan Jumat pada pagi hari.
Tugas
kuncen lainnya adalah memimpin ziarah pada hari Sabtu, menjadi imam
salat di masjid, serta memimpin acara ritual hari besar Kampung Dukuh
yang jatuh setiap 14 Maulid. Selain itu, juga menurunkan ilmu kepada
masyarakat kampung dan para tamu. Lalu menjaga dan merawat benda pusaka,
memberi doa pada air suci untuk kepentingan tamu dan berdoa semalam
penuh sampai menjelang subuh. Dan terakhir adalah memimpin musyawarah
kampung.
Dalam
keseharian, Pak Luluk menghuni rumah adat yang berukuran lebih besar
dari rumah-rumah lainnya. Mengapa lebih besar? ”Sabab di dideu mah sok
dipungsikeun kangge sagalana. Mimiti musawarah, narima tamu, nepi sagala
hal. (Sebab di sini suka dipergunakan sebagai tempat musyawarah,
menerima tamu dan semua urusan),” tutur Pak Luluk kepada penulis.
Dan
sebagai kuncen, terang Pak Luluk, tugasnya terbilang tidak ringan.
Selain tugas-tugas yang telah disebutkan di atas, tugas lainnya adalah
menjaga keseimbangan alam dan menjadi pengawal norma-norma adat. Karena
itulah dalam keseharian, Pak Luluk selalu mengenakan pakaian adat. ”Ieu
mah tos janten tugas abdi, kedah dilaksanakeun sesuai parentah. (Ini
sudah menjadi tugas saya dan harus dilaksanakan sesuai perintah),”
ujarnya.
Pak luluk memang orang
yang sangat mengesankan. Awalnya kami menyangka beliau adalah orang
yang berfikir sebatas pengetahuan tentang kampong dukuh saja. Ternyata
beliau adalah pembicara yang piawai, wawasannya sangat luas, akan tetapi
beliau tidak pernah menunjukan kesombongan akan hal itu. Beliau bisa
melayani berbagai pertanyaan kami dengan berbagai perspektif dan
kemungkinan. Beliau selalu menjelaskan berbagai perkara dengan landasan
pemikiran Islam.
Pemikirannya sudah
jauh ke depan, beliau memikirkan bagaimana kelangsungan kampung dukuh
dan eksistensinya di masyarakat luas. Pemikiran beliau yang paling
menarik adalah mengenai persoalan hokum adat yang mempertahankan sumber
daya hutan sebagai warisan yang tidak boleh dirusak. Dari yang kami
tangkap dari penjelasan pak luluk, terlihat bahwa beliau sangat memahami
arti pentingnya kelestarian hutan tersebut untuk kahidupan kita dan
generasi berikutnya.
Begitu juga ketika
beliau menjelaskan alasan jarangnya orang muda di dukuh dalam. Menurut
beliau, tidak ada paksaan untuk tinggal di dukuh dalam. Dukuh dalam
hanyalah tempat bagi orang-orang yang sudah mampu menundukan nafsunya
terhadap dunia. Oleh karena itu, orang-orang muda yang masih dipenuhi
oleh semangat dunia silahkan saja untuk menikmati dan mencari pengalaman
di dunia luar. Jika sudah mampu untuk mengikuti aturan, silahkan mereka
bergabung di dukuh dalam.
Dari
pemikiran-pemikiran yang dimunculkan pak luluk, kami tersadar bahwa
orang-orang dukuh bukanlah orang-orang yang sempit cara berfikirnya.
Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang sangat bijak dalam memandang
hidup. Kearifan dan kesederhanaan inilah yang membuat mereka berbeda
dengan orang-orang lainnya.