Matahari Kota Bandung, sudah kembali ke peraduan. Rintik hujan yang
sedari tadi memandikan tanah Pasundan, sudah mulai mengurangi
intensitasnya. Aroma khas setelah hujan, menambah kesyahduan malam itu.
Di sebuah daerah di bilangan Buah Batu, terdapat sebuah rumah yang
tidak terlalu besar, tapi juga tak terlalu kecil. Rumah itu milik
seorang seniman Sunda, yang mungkin tak banyak orang mengetahuinya.
Ialah Dadi P Danusubrata.
“Hai, bagaimana? Ayo masuk! Di sini saja,” sapanya pada saya sembari
menuntun ke ruang kerjanya. Di ruangan yang dindingnya penuh dengan
pajangan piagam dan poster teater itu, Dadi coba menceritakan kisahnya
pada saya.
“Memang saya senang seni. Saya naik panggung sejak kelas dua SD
(sekolah dasar) saya sudah mulai,” ungkapnya mengawali “kisah cintanya”
dengan seni teater.
Dadi ialah seorang seniman yang meletakkan fokus berseninya pada
bidang seni drama teater. Kekayaan yang dimiliki kesenian ini, membuat
Dadi kepincut dan memilih kesenian ini dibanding kesenian lainnya.
“Kalau drama kan segala unsur kesenian mah ada di situ. Drama mah
muaranya kesenian,” ucapnya. Ia melanjutkan, “Di teater itu ada pesan
moral yang disampaikan. Tidak hanya sekadar haha hihi di panggung. Tapi
ada pesan yang disampaikan,” ujar pria kelahiran 1950 ini.
Terlahir dan tumbuh berkembang di tanah Sunda, membuat pria pecinta
harimau ini mencintai budaya dan bahasa Sunda. Kecintaannya ini tak
berakhir di lisan saja. Ia coba gabungkan kecintaannya terhadap bahasa
Sunda dengan kecintaannya berteater. Ini menjadi salah satu alasannya
membentuk Teater Sunda Kiwari (TSK) atau dalam bahasa Indonesia berarti
Teater Sunda Masa Kini.
Lewat TSK, Dadi coba menggerus anggapan orang-orang bahwa bahasa
Sunda adalah bahasa kampungan. Ia menepis berbagai anggapan itu lewat
karya-karya teaternya yang dipertontonkan menggunakan bahasa Sunda.
“Pada saat itu, mungkin sampai sekarang masih, bahasa Sunda dianggap
orang, kampungan. Saya ingin membuat drama berbahasa Sunda, tapi
modern,” papar pria yang juga mengajar teater di salah satu perguruan
tinggi swasta di Sumedang.
Dadi mengatakan, teater modern bahasa Sunda yang ia sajikan ini,
sebenarnya sama saja dengan teater yang ada di Jepang, Perancis, dan
Jerman. Sama-sama teater, sama-sama memiliki pesan moral yang coba
disampaikan Sebuah perbedaan yang ada, menurutnya, hanyalah bahasa yang
digunakan.
Kesenian drama teater berbahasa Sunda sebenarnya sudah lama ada,
bahkan sebelum ia dan Hidayat Suryalaga menggagas TSK pada tahun 1975.
Kesenian Sunda yang ada sejak dulu, menurut Dadi, masih bersifat
tradisonal. Ia menyebut, teater modern yang ia tawarkan melalui TSK ini
berada satu tingkat di atas teater tradisional.
“Saya naik dari itu (drama bahasa Sunda tradisional). Saya membuat modern. Saya tingkatkan lagi drama teater bahasa Sunda kiwari. Drama teater bahasa Sunda masa kini,” katanya coba menjelaskan.
Hambatan Melebarkan Sayap
Meski sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia teater, Dadi hanya
sudah memantaskan ide-ide gemilangnya di sekitaran Jawa Barat. Pernah
sekali saja ia keluar Jawa Barat untuk pentas, yaitu di Solo saat
menampilkan teater bertajuk Runtag.
Meski tak terlalu punya ambisi untuk pentas di luar daerah –Jawa
Barat, termasuk juga di luar negeri, Dadi mengaku ia mau-mau saja
melakukannya jika ada tawaran. Pesan moral, yang menjadi kunci permainan
teater, menjadi salah satu hambatan. Pesan moral yang selalu ia coba
sampaikan, tertuju pada bangsa Indonesia. Teater yang ia tampilkan
selama ini juga berkutat pada permasalahan moral bangsa Indonesia. Ia
merasa kurang relevan jika menyampaikan karya-karyanya tersebut di dunia
internasional.
Permasalahan pelik lainnya ialah dana. Untuk mengadakan sebuah pentas
di luar daerah,menurut Dadi, butuh biaya lebih dari biasanya. Hal ini
yang menghambat Dadi dan TSK melebarkan sayapnya ke luar Jawa Barat.
Ia mengatakan memang ada bantuan dana dari pemerintah, meski tidak
seratus persen. Sisa dana yang harus dikeluarkan, ia coba tutupi lewat
uang kas TSK. Terkadang juga ada pihak-pihak yang mau mensponsori
kegiatan gelarannya. Meski begitu, ia selalu mencoba menggelar pentas
sebisa mungkin dengan dana yang ada.
“Dananya dari kas saja. Kita selalu berusaha membuat itu dengan kondisi dana yang bisa disiasatilah,” tuturnya.
Mengisi Kekosongan Pemerintah
Selain menampilkan gairah baru dalam dunia teater, ia juga meyakini,
teater bahasa Sunda yang ia tampilkan akan berefek positif terhadap
pelestarian bahasa Sunda. Menurut Dadi, seharusnya ini adalah tugas
pemerintah daerah. Namun ia coba membantu pemerintah lewat teater
berbahasa Sundanya.
Salah satu gelaran utama TSK, Festival Drama Bahasa Sunda (FDBS),
juga menjadi sumbangsihnya dalam membantu pemerintah. Gelaran berlingkup
Jawa Barat ini menjadi ajang pembinaan kaum muda untuk menyalurkan
bakatnya di dunia drama dan teater.
“Saya menepis orang tua yang bilang anak-anak muda sekarang sudah
tidak mau belajar bahasa Sunda. Coba lihat festival selama tiga minggu
yang pesertanya 60 sampai 70 se-Jawa Barat (FDBS). Ada pesertanya yang
orang tua? Ada penonton yang orang tua? Enggak ada, muda semua,”
ungkapnya menggebu-gebu.
Ia menyayangkan absennya pemerintah dalam melestarikan bahasa Sunda
dan mewadahi kreativitas generasi muda. Menurutnya, pemerintah terlalu
berfokus pada keuntungan komersil. Jika ada kegiatan di bidang
kebudayaan, hanya ditujukan pada penarikan investor.
“Pemerintah tidak tahu apa keinginan anak muda ini. Ya tahunya
menarik investor. Membuat pawai Gemilang Nusantara, hanya untuk menarik
investor, menarik investor, menarik investor,” terang pria pensiunan
pemda ini.
Hal tersebutlah yang menjadi dasar Dadi menggelar FDBS secara
berkala. Ia juga tak menerapkan sistem seleksi daerah di festival
tersebut. Baginya, siapapun boleh ikut tampil di Bandung. Ia meyakini,
secara tidak langsung, kreativitas generasi muda terwadahi dan bahsa
Sunda akan terlestarikan.
Di Mata Keluarga
Dunia teater tak hanya menjadi bagian hidupnya, tapi juga memengaruhi
sosok Dadi dalam keluarga. Salah seorang putra Dadi, Ercipta Kersana
Nugraha, mengatakan Dadi adalah seorang figur ayah yang tegas.
“Yang jelas sosoknya tegas. Kalau membina keluarga, punya jiwa
kepemimpinan. Ketika bilang A, ya harus A,” papar laki-laki yang lebih
akrab disapa Cipta ini.
Cipta, yang sewaktu SMP pernah diajak bermain teater oleh ayahnya
ini, mengakui Dadi tak pernah memaksakan anak-anaknya harus mengikuti
jalannya. Dadi memberi kebebasan pada anak-anaknya untuk memilih sendiri
jalan hidupnya.
Cipta juga menilai sosok Dadi sebagai seorang senniman. Menurutnya,
Dadi memiliki totalitas dalam menyelami dunia teater. Bahkan menurut
Cipta, lebih banyak waktu Dadi dihabiskan untuk teater dibanding
keluarganya.
“Ya kami sebagai keluarga sudah maklum saja dengan beliau. Karena sudah saking cintanya,” ujarnya memaklumi.
Terlepas dari itu semua, Dadi menjadi sosok yang berjasa bagi dunia
teater nasional dan penmeliharaan bahasa Sunda. Ini dibuktikannya dengan
deretan penghargaan yang telah diraihnya. Sebagaian dari mereka, sudah
menghiasi dinding ruang kerja Dadi.
“Ini hanya sebagian. Sisanya saya simpan. Ini saja sudah enggak muat,” ungkapnya diiringi gelak tawa.
Meski sudah banyak pencapaian yang ia raih, masih terbesit sebuah
impian di benaknya. Kekuatan teater dalam membentuk karakter seseorang,
menjadi dasar impiannya ini.
“Di teater itu ada pembentukan karakter. Ada percaya diri, kejujuran,
kolektif, ada semua di situ. Saya berharap, setiap anak di Indonesia,
minimal satu tahun mengenyam berteater di sekolahnya. Entah di SMP atau
SMA,” harapnya seraya menutup percakapan di malam syahdu itu.
(Dhio Faiz Syarahil)
sumber : http://djatinangor.com