Kamis, 05 Maret 2015

ASAL MULA KALA SUNDA DAN ISTILAH SUNDA

0 comments

ASAL PAWUKON/ KALA SUNDA
Cerita penemuan kembali Kala Sunda bermula
ketika Ir. C.J Snijders, astronom Belanda,
menemukan Pawukon. Pawukon adalah sistem
kalender yang mempunyai waktu terukur, seperti
wuku yakni penamaan per tujuh hari. Ada 30 nama
wuku. Ada juga wara, model penanggalan
“mingguan” dari seminggu hanya satu hari hingga
seminggu ada yang sepuluh hari. Kala Sunda
hanya menggunakan dua wara, yakni panca wara
dan sapta wara. Dengan dua wara ini saja, Kala
Sunda sudah berpenanggalan “stereo” seperti
radite-pahing, sukra-kliwon. Seseorang yang lahir
pada Senin wage, akan berbeda wataknya dengan
orang yang lahir pada Senin-kliwon.
Pawukon adalah bukti adanya manusia tertua di
Pulau Jawa. Dalam bukunya Beginselen der
Astrologie, Snijders menyebutkan Pulau Jawa dan
Kepulauan Indonesia lainnya sudah ada sejak
jaman Lemuria atau Pleistoceen, kira-kira sejuta
tahun yang lalu. Umurnya pun lebih tua dari
daratan Asia sendiri. Di buku itu juga disebutkan
perbandingan umur kalender bangsa-bangsa dunia.
Snijders menaksir kalender Quichuas, penduduk asli
Meksiko, berumur 15 ribu tahun. Usia kalender
Cina 13 ribu tahun, Babilonia 6500 tahun, dan
India, yang disebut Surya Sidhanta, berumur 2200
tahun. Adapun Sistem pawukon ini ditaksir
berumur 17.183 tahun. Pawukon adalah bagian
dari kalender Sunda. Dengan kata lain, KALENDER
SUNDA ADALAH KALENDER TERTUA DI DUNIA.
Merujuk pada Ensiklopedi Winkler Prince, tingginya
suatu peradaban, diukur dari tingkat akurasi
penanggalan kalendernya. Secara logis pun,
bangsa yang sudah mempunyai sistem kalender –
terlebih yang rumit – pasti sudah menguasai
aksara, bahasa, ilmu hitung, dan ilmu baca. Dalam
konteks Kala Sunda, aksara yang digunakan atau
dikuasai adalah Caraka atau Kagangan. Sebelum
urang Sunda membuat tulisan, pasti sudah
mengenal bahasa dan tata bahasa yang baku.
Bahkan, Dalam Penataran Dialetologi Tahap I,
Juni-Agustus 1976, Proto Austronesia Etyma
cunstituting An Asutronesian Cognate Finder List
Dr. Bernd Nothafer, menggambarkan bahwa
PROTO-SUNDIC MERUPAKAN INDUK BAHASA
LAIN, SEPERTI MELAYU, MADURA, BALI.
Keberadaan Pawukon/ Kala Sunda dan budaya
Sunda pada era lebih dari 10.000 tahun yang lalu
diperkuat dengan ditemukannya bukti arkeologis
berupa:
1. Situs Gunung Padang, Kabupaten Cianjur,
dimana berdasakan pengujian Laboratorium Beta
Analytic Miami, Florida, Amerika Serikat merilis
usia bangunan bawah permukaan dari Situs
Gunung Padang, sebagai berikut: a). Pada lapisan
tanah urug di kedalaman 4 meter (diduga man
made stuctures /struktur yang dibuat oleh
manusia) dengan ruang yang diisi pasir (di
kedalaman 8-10 meter) di bawah Teras 5 pada
Bor-2, adalah sekitar 7.600-7.800 SM. Usia
bangunan ini jauh lebih tua dibandingkan dari
Piramida Giza di Mesir yang berumur 2.560 SM.;
b). Sedangkan umur dari lapisan dari kedalaman
sekitar 5 meter sampai 12 meter, adalah sekitar
14.500–25.000 SM. Ini Artinya situs gunung
padang ini telah ada sebelum peristiwa banjir
besar (berakhirnya zaman es).
2. Penemuan kerangka manusia di sekitar Gua
Pawon, Kabupaten Bandung serta jejak-jejak
kehidupan/ kebudayaan manusia di puncak Pasir
Pawon dan di lembah sekitar aliran Cibukur. Di
puncak Pasir Pawon, di mana terdapat stone
garden (mirip stone henge di Inggris) dapat
dijumpai sebaran artefak berupa fragmen tembikar
dan keramik. Selain itu juga terdapat beberapa
batuan beku yang kemungkinan merupakan sisa
unsur bangunan. Berdasarkan hasil analisis C-14
menunjukkan umur Manusia Pawon antara
5.660±170 SM sampai 9.520±200 SM.
ASAL ISTILAH SUNDA
Selama ini sebutan “Sunda” lebih dikenal hanya
sebagai sebuah kerajaan atau suku (etnis) yang
mendiami wilayah Jawa Barat, sesungguhnya itu
tidak benar dan sama sekali salah. “Sunda” adalah
nama atau sebutan sebuah wilayah yang sangat
luas di Planet Bumi. Secara diagonal wilayah itu
mencakup dari ujung Timor, sebagian India selatan
hingga belahan timur Afrika dan kepulauan
Madagaskar. Nama wilayah Sunda ini masih dapat
ditemui dalam istilah geografi internasional, antara
lain:
1. KEPULAUAN SUNDA BESAR DAN SUNDA KECIL
Bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan
pada medio 1960 an, istilah Sunda masih
ditemukan didalam mata ajar Ilmu Bumi, suatu
istilah yang menunjukan gugusan kepulauan yang
disebut Sunda Besar (meliputi: Pulau Sumatera,
Jawa, Kalimantan dan Sulaweis), serta Sunda Kecil
(meliputi: Pulau Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku).
2. PAPARAN SUNDA, TANAH SUNDA
a. PAPARAN SUNDA adalah landas kontinen
perpanjangan lempeng benua Eurasia di Asia
Tenggara. Massa daratan utama antara lain
Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Madura,
Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarya. Area ini
meliputi kawasan seluas 1,85 juta km2. Kedalaman
laut dangkal yang membenam paparan ini jarang
sekali melebihi 50 meter, dan kebanyakan hanya
sedalam kurang dari 20 meter. Tebing curam
bawah laut memisahkan Paparan Sunda dari
kepulauan Filipina, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda
Kecil.
b. TANAH SUNDA (SUNDALAND), Sundaland atau
Tanah Sunda, sebuah istilah yang merujuk kepada
bentang daratan lempeng benua dan landas
kontinen di Asia Tenggara yang merupakan dataran
di atas permukaan laut ketika permukaan laut jauh
lebih rendah pada zaman es terakhir. Tanah Sunda
termasuk Semenanjung Malaya, Kepulauan Sunda
Besar termasuk Kalimantan, Sumatera, dan Jawa,
serta laut dangkal di sekitarnya, yaitu Laut Jawa,
Selat Malaka, Selat Karimata, Teluk Siam, dan
bagian selatan Laut China Selatan.
3. SISTEM GUNUNG SUNDA
Adalah jajaran pegunungan yang melingkari
paparan Sunda (CIRCUM-SUNDA MOUNTAIN
SYSTEM) yang panjangnya se kitar 7000 km.
Paparan Sunda terdiri dari dua bagian utama, yaitu
(1) bagian utara yang meliputi Kepulauan Filipina
dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Pasifik
bagian ba rat dan (2) bagian selatan yang
terbentang dari barat ke ti mur sejak Lembah
Brahmaputera di Assam (India) hingga Maluku
bagian selatan. Paparan Sunda itu bersambung
dengan kawasan sistem Gunung Himalaya di barat
dan dataran Sahul di timur (Bemmelen, 1949: 2-3).
4. LAUT SUNDA (SOENDA ZEE)
Isitilah Laut Sunda atau Soenda Zee masih dikenal
pada zaman pemerintah kolonial Belanda hingga
pada era sekitar tahun 1919. Soenda Zee adalah
wilayah laut meliputi Laut Jawa, Selat Karimata,
dan Laut Cina Selatan yang dikenal saat ini.
Istilah Sunda juga sebenarnya telah ada pada
masa kerajaan Tarumanegara, yang ditunjukkan
pada Prasasti batu yang ditemukan di kampung
Pasir Muara (Cibungbulang) di tepi sawah kira-kira
1 kilometer dari prasasti telapak gajah peninggalan
Purnawarman. Prasasti ini merupakan peninggalan
pemerintahan Suryawarman yang berisi inskripsi
sebanyak 4 baris. Bacaannya (menurut Bosch):
”Ini sabdakalanda juru pangambai kawihaji panyca
pasagi marsandeca barpulihkan haji sunda”.
Artinya: Ini tanda ucapan Rakeyan Juru Pangambat
dalam tahun Saka 458 bahwa pemerintahan
daerah dipulihkan kepada raja Sunda”.
Suryawarman di dalam sejarah tatar Pasundan
tercatat sebagai raja Tarumanagara ketujuh.
Diperkirakan memerintah pada tahun 457 sampai
dengan tahun 483 Saka, bertepatan dengan tahun
536 sampai dengan tahun 561 masehi, sedangkan
tahun 458 Saka bertepatan dengan 536 masehi
atau abad ke enam masehi.
Dari prasasti ini jelas bahwa nama kerajaan Sunda
yang didirikan raja Tarusbawa pada tahun 670 M
bukan merupakan nama baru, namun mengambil
dari istilah Sunda yang telah ada sejak zaman
kerajaaan Tarumanegara, bahkan jauh lebih lama
lagi. PERLU DICATAT, BAHWA KERAJAAN
TARUMANAGARA PADA AWALNYA MELIPUTI
SELURUH WILAYAH NUSANTARA, SEMENANJUNG
MALAYA, THAILAND, KAMBOJA, bahkan mungkin
lebih luas lagi. Pemecahan wilayah kerajaan
Tarumanagara diawali ketika Maharaja
Linggawarman (raja Tarumanagara terakhir) pada
sekitar tahun 670 M memberikan wilayah
Swarnadwipa (Sumatera), Kalimantan Barat,
semenanjung Malaya, Thailand dan Kamboja
(Tarumanagara Barat) kepada menantunya
Dapunta Hyang Srijayanasa yang menikah dengan
putrinya yang bernama Sobakancana, yang
selanjutnya diberi nama kerajaan SRIWIJAYA. Dan
sisanya, wilayah Tarumanagara Tengah dan Timur
(pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan
Maluku) diserahkan kepada menantunya yang lain,
yaitu raja Tarusbawa yang menikah dengan
putrinya yang bernama Manasih, yang selanjutnya
diberi nama KERAJAAN SUNDA.
Adanya pemecahan wilayah ini mendorong
KERAJAAN GALUH (kerajaan bawahan
Tarumanagara) yang dipimpin Wretikandayun
untuk ikut memisahkan diri dari kerajaan Sunda,
untuk menjadi kerajaan mandiri, karena merasa
bahwa raja Tarusbawa adalah sederajat (hanya
menantu/ bukan turunan langsung dari raja
Tarumanagara), dimana Kerajaan Galuh juga
diawali dengan terbentuknya kerajaan KENDAN
yang didirikan oleh Manikmaya (menantu
Suryawarman) Tahun 526 M. Wretikandayun
adalah cicit dari Manikmaya. Wilayah Kerajaan
Galuh meliputi wilayah Jawa Barat bagian Timur
(dibatasi oleh Sungai Citarum), Jawa Tengah
bagian Selatan dan Jawa Timur. Oleh karena itulah
daerah sekitar Sidoarjo disebut sebagai Hujung
Galuh. Disamping kerajaan Galuh, wilayah lain yang
memisahkan diri adalah KERAJAAN KALINGGA
yang dipimpin Ratu Shima, wilayahnya mencakup
wilayah Jawa Tengah bagian Utara.
Pemecahan wilayah kerajaan Tarumanagara di
atas direstui oleh Maharaja Linggawarman, dengan
syarat bahwa semua kerajaan yang memisahkan
diri tetap harus menjalin kekeluargaan dan
menghormati Maharaja Sunda Tarusbawa sebagai
penerus dari kerajaan Tarumanagara. Hal lainnya
adalah penobatan raja-raja tetap dilakukan di
kabataraan (tahta suci) yang ada di kerajaan
Sunda. Inilah sebabnya, kenapa Raja Panjalu
(Kadiri) Prabu Kertajaya (1194-1222) juga disebut-
sebut dalam Prasasti Galunggung. Paul Michel
Munoz (2006) berpendapat bahwa sisa-sisa
keluarga dan pengikut Prabu Kertajaya (Raja
terakhir Dinasti Sanjaya di Jawa Timur) melarikan
diri ke daerah Sukapura/Ciamis pada tahun 1222
untuk menghindari pembantaian Ken Angrok.
Berdasarkan kitab Nagarakretagama, Prabu
Kertajaya bersembunyi di Dewalaya (tempat Dewa)
atau tempat suci. Tempat ini diperkirakan adalah
Kabataraan Gunung Sawal (Ciamis). Di tempat
persembunyiannya ini diperkirakan Prabu Kertajaya
mendirikan kerajaan Panjalu Ciamis yang
merupakan kelanjutan dari kerajaan Panjalu Kadiri
(Jawa Timur).
MASA PRA TARUMANAGARA
Masa ini dikenal dengan sebutan ”SUNDA PURBA”,
yang meliputi wilayah: Nusantara, semenanjung
Malaya, Indo Cina, India Selatan, kepulauan
Madagaskar hingga belahan Timur Afrika, bahkan
ada yang menyebut hingga ke Jepang, Korea, dan
benua Amerika. Beberapa sumber mengatakan
bahwa bangsa Indian di Amerika juga berasal dari
wilayah Sunda Purba dan dikenal dengan nama
bangsa Melayu Indian (Indian Malay). Nama Sunda
Purba kemudian berubah menjadi
“Sundalarang” (Sunda Besar) lalu menjadi
“Dwipantara” setelah itu berubah lagi menjadi
“Nusantara” dan ketika jaman penjajahan kolonial
Belanda berganti nama menjadi “Hindia Belanda”,
lalu pada tahun 1928 ketika dicanangkan “Sumpah
Pemuda” nama negeri ini berubah menjadi
“Indonesia” hingga sekarang.
Berdasarkan beberapa sumber yang dapat
dipercaya mengatakan bahwa pada tahun 52 Saka,
Aki Tirem menyerahkan kekuasaan Kerajaan
Sakalanagara (diperkirakan berada di sekitar
wilayah Pandeglang) kepada putrinya, Nyi Putri
Rarasati yang dinikahi oleh Dewa Warman. Cerita
Sakalanagara ini jatuh pada abad kedua masehi
(122 M). Jika dicocokkan dengan naskah Pangeran
Wangsakerta (abad 17), sangat cocok. Apabila
cerita Sakalanagara jaman Aki Tirem dan naskah
Pangeran Wangsakerta dihubungkan, menurut data
Atmadiredja, sangat cocok.
Ketika jaman “Purbanagara” (nama kerajaan Sunda
Purba) berakhir pada tahun 78 M yang ditandai
dengan pergantian nama wilayah besar Sunda
Purba menjadi “Dwipantara” yang artinya adalah
dua panutan bernegara yaitu “Panatagama dan
Panatanagara”. Hal ini dapat diartikan bahwa
tonggak atau pancang awal berdirinya sebuah
kedaulatan wilayah adalah dengan penataan
agama (spiritual/kepercayaan) dan penataan cara
bernegara. Prinsip inilah yang mendasari konsep
”Tritangtu”, Rasi, Rama dan Ratu. Rasi adalah
dewan (orang-orang) yang mengurusi urusan
spiritual, wilayahnya disebut Kabataraan (Tahta
Suci), Rama adalah dewan (orang-orang) yang
mengurusi urusan peraturan, hukum, kebijakan
negara (mirip dengan lembaga Legislatif); Ratu
adalah yang bertugas mengurusi kenegaraan/
pemerintahan (mirip dengan lembaga Ekskutif).
Pemerintahan negeri Dwipantra dipegang oleh Aji
Saka-I dengan gelar Haji Raksa Gapura Sagara,
nama kerajaannya disebut Salakanagara. Adapun
misi negara pada saat itu disebut Salaka Domas
atau Mulla Sarwa Stiwa Danikaya (“berawal dari
kebersamaan menjadi kekayaan” atau dengan kata
lain artinya ialah “bersama membangun
kejayaan”). Misi negara tersebut dilanjutkan oleh
Aji Saka–II yang bergelar Pangeran Dewawarman
atau Sang Hyang Watugunung atau Ratu Agung
Manikmaya (132 M).
Ketika Aji Saka-II digantikan oleh Aji Saka–III yang
nama aslinya adalah Rakeyan Taruma Hyang (“Si
Tumang”, suami Dayang Sumbi) atau Pangeran
Wisnu Gopa, ia mengganti nama kerajaan
Salakanagara dengan sebutan Tarumanagara. Di
masa pemerintahan Aji Saka-III inilah perwujudan
dari misi Salaka Domas negeri Dwipantara ini
tercapai. Pernikahan antara Aji Saka-III dengan
Dayang Sumbi yang bergelar Dewi Mayang Sunda
atau nama aslinya Galuh Kaniawati menghasilkan
lima orang anak yang kelak disebut sebagai Lima
Putra Sunda atau Panca Putra Dewa.
Memang sungguh mengherankan, ketika bangsa
Eropa menyusun sejarah Yunani-Romawi yang
dilakukan dengan metode (teknik) penelusuran
Metahistori yang dikaji dari berbagai puing-puing
peninggalan serta artefak lainnya, tidak ada
satupun bangsa yang menolak tuturan sejarah
mereka. Demikian pula ketika penyusunan
perjalanan sejarah peradaban kebudayaan Mesir
Kuno di sekitar Sungai Nil atau Sumeria, Babylonia,
Mesopotamia, serta kebudayaan lainnya yang
berada di antara Sungai Tigris dan Eufrat.
Dongeng sejarah yang mereka susun pada akhirnya
dipahami sebagai sebuah ilmu pengetahuan dan
seolah tidak diragukan lagi kebenarannya.
Berbeda halnya, ketika bangsa Indonesia mencoba
menggali sejarah bangsanya sendiri, dengan “cara
berpikir” bangsa Nusantara dan tidak dengan cara
berpikir bangsa Barat, setiap hasil penelusuran
yang dilakukan akan “disalahkan dan ditentang
habis-habisan”, bahkan jika itu berupa fenomena
logis sekalipun akan segera dimentahkan dengan
argumentasi ala Baratnya. Mereka lupa, bahwa
sejarah Nusantara adalah sejarah negerinya sendiri
dan hanya dapat digali dan ditemui kebenaran
sejatinya jika mempergunakan cara berpikir
Nusantara yang penuh dengan nilai-nilai kearifan
lokal. (Prabu Sinduk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar