KUNINGAN_NJ : Siapapun yang
khusyuk mengetuk pintu dengan kalimah-Nya, ia akan datang menaungi tiap-tiap
nurani yang saleh dan menebarkan karomah bagi keagungan hidup bagi para
kekasihnya, keberkahan mengalir sepanjang masa. Itulah fenomena yang dirasakan
saat Desa Dukuhmaja, Kecamatan Luragung, Kabupaten Kuningan menggelar kembali
Hajat Bumi dalam ritual “nyuguh” yang telah hampir empat tahun tidak pernah
dilaksanakan lagi.
Menurut Taswin Kepala Desa Dukuhmaja
Nyuguh kembali dilaksanakan atas desakan warga desa yang telah menjadi tradisi
turun temurun. Dan, Ritual Nyuguh ini biasa dilakukan pada Bulan Maulud pada
Jum'at pertama, yang tahun ini jatuh pada tanggal 2 Desember lalu.
“Alhamdulillah, berkat bantuan
semua pihak, terutama masyarakat Desa Dukuhmaja sendiri, hajat bumi yang di implementasikan dalam ritual nyuguh, telah
berhasil dilaksanakan dengan lancar,” ujar Taswin.
Hajat bumi yang digelar cukup
semarak ini dihadiri langsung oleh Heri dari Bakorwil Tiga Wilayah Kuningan
yang mewakili Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan. Dan juga Kabid Kebudayaan
Provinsi Jawa Barat yang mewakili Kadisparbud Provinsi yang tidak dapat hadir
karena jadwalnya yang padat. Setelah menutup acara Kongres Bahasa Sunda, beliau
harus langsung ke Tasikmalaya untuk menghadiri acara yang tidak bisa
ditinggalkan. Sayangnya Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Kuningan,Tedi Sumirat tidak turut menghadiri acara tersebut. Padahal setelah
acara penutupan Kongres Bahasa Sunda, ia telah berjanji untuk langsung meluncur
ke lokasi hajat bumi bersama Wahyu Rahmat dari Disparbud Provinsi.
RIWAYAT DAN SEJARAH
Menurut cerita lisan, asal mula
terjadinya ritual nyuguh diawali kedatangan 42 orang prajurit dari Kerjaan
Pajajaran ke Desa Luragung. Eyang Suramanggala bertanya maksud dan tujuan
kedatangan 42 prajurit kerajaan Pajajaran tersebut. Pemimpin atau komandan
prajurit yang bernama Si Gentong menjawab , bahwa maksud dan tujuan kedatangan
kami adalah sebagai utusan Kerajaan Pajajaran untuk membawa Eyang Suramanggala
guna dijadikan panglima perang di Kerajaan Pajajaran. Eyang Suramanggala
menolak tawaran raja tersebut, dan akhirnya seluruh prajurit memaksa dengan
cara kekerasan. Dengan kesaktian yang luar biasa dimiliki Eyang Suramanggala,
hanya dengan menggoyangkan badan dan bersin membuat ke 42 prajurit terpental,
terlempar jauh dan ada yang nyangkut di pepohonan. Begitu prajurit sadar seolah
melihat Eyang Suramanggala kaki kirinya menginjak Gunung Ciremai dan kaki
kanannya menginjak Gunung Slamet. Melihat kesaktian Eyang Suramnggala, para
prajurit takluk dan akan mengabdi kepada Eyang. Akan tetapi Eyang Suramanggala
menyuruh dua orang untuk kembali ke Kerajaan Pajajaran melaporkan bahwa 40
orang lainnya akan mengabdi di Luragung/Eyang Suramanggala.
Kepada 40 orang prajurit Eyang
bertanya, apa saja makanan di Keraton Pajajaran. Kepala prajurit menjawab bahwa
makanan keraton adalah ; bubur blonyot dari tepung beras, ikan jahan (ikan
laut) sambal serai, sayur talas bolang, jaburan (goreng tepung beras)
menginang. Setelah mengetahui makanan para prajuritnya, Eyang berkata makan
saudara saudara sekalian akan saya jamin, akan tetapi kalau nanti saya
meninggal dunia makan akan dijamin oleh keturunan dari Pakuan. Dan tugas
saudara menunggu makam putri Pajajaran di Cireundeu secara bergantian. Selain
itu, Eyang memberikan wasiat : “ Barang siapa saja yang menjadi kuwu di
Luragung setiap bulan Maulud pada Jum’at pertama diwajibkan mengadakan
sesajen/mengadakan upacara nyuguh dan yang memasak masakan tersebut/sesajen
harus turunan asli dari saya (Eyang Suramanggala)”. Upacara ritual memberikan
sesajen/nyuguh bubur blonyot dari tepung
beras, ikan jahan (ikan laut) sambal serai, sayur talas bolang, jaburan (goreng
tepung beras) menginang untuk 40 orang prajurit. Menurut informasi para
prajurit tersebut sering menjelma menjadi harimau. Pada acara ritual nyuguh
selain memberikan sesajen juga disertai pencucian benda-benda pusaka berupa
golok, keris dan tumbak. Oleh karena itu, upacara nyuguh dilaksanakan setiap
tahun pada bulan Maulid hari jum’at pertama di Cireundeu Desa Dukuhmaja
Kecamatan Luragung, dengan lokasi areal situs Buyut Ratu Pakuan.
Namun pada saat ini ritual tersebut hampir
hilang, karena adanya perbedaan pemahaman dengan para tokoh agama dan kurangnya perhatian dari pemerintah
daerah setempat. Padahal Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengeluarkan
Perda Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya Jawa Barat, yang
mana arah kebijakan tersebut melestarikan warisan budaya daerah sebagai jati
diri masyarakat Jawa Barat dan aset nasional. Juga dalam upaya meningkatkan
harkat dan martabat masyarakat Jawa Barat melalui warisan Budaya serta tentunya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempromosikan tinggalan karya budaya bangsa
kepada masyarakat internasional.(dh)