KUNINGAN - NJ : Pemerintah
Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud)
Provinsi Jawa Barat , yang bekerjasama dengan Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda
(LBSS), menggerlar Kongres Basa Sunda x , bertempat di Hotel Horison Tirta
Sanita, Kabupaten Kuningan pada 30 Nopember hingga 2 Desember 2016.
Kongres tersebut dibuka oleh
Gubernur Jawa Barat , Ahmad Heryawan. Harapan Gubernur Jawa Barat dari
diadakannya kongres ini adalah dapat menghasilkan kesepakatan yang menjadi
kebijakandalam hal melestarikan bahasa dan sastra Sunda.
“Bahasa Inggris sebagai bahasa
global, perlu, Bahasa Indonesia, bahasa persatuan, bagus, kemudian bahasa
daerah, Bahasa Sunda sebagai identitas kita, juga wajib dilestarikan, harus
seimbang eksistensinya.” Ungkap Gubernur Jawa Barat atau yang akrab disebut
Kang Aher. Karena Bahasa sebagai salah satu elemen kebudayaan lokal merupakan
salah satu penyumbang kekayaan budaya nasional. Maka kelestarianntya wajib
dijaga.
Kang Aher juga mengatakan bahwa
peran bahasa Sunda sebagai bahasa Ibu di Jawa Barat saat ini memang kalah
dengan bahasa nasional. Banyak kekhawatiran di masyarakat dalam penggunaan
bahasa Sunda, diantaranya khawatir terhadap kesulitan berkomunikasi pada pergaulan
dan kemajuan jaman bila menggunakan
bahasa daerah.
Padahal kata Kang Aher, tidaklah
masalah bila kita menggnakan bahasa lain, baik Internasional, ataupun Nasional
karena semuanya mempunyai porsi. Kapan harus menggunakan bahasa global, bahasa
nasional dan bahasa daerah, setiap individu dapat menempatkan dirinya sesuai
dengan lingkungannya.
“Dalam pendidikan, Bahasa Sunda
Muata Lokal (MULOK) yang seharusnya ada. Karena bahasa adalah tanda sebuah
kawasan, tanda sebuah nilai, tanda sebuah kearifan lokal, Bahasa Sunda di
kawasan Jawa Barat harus ada,” tegas Kang Aher.
Kang Aher memahami sejumlah
daerah perbatasan memiliki budaya berbeda, yang tak murni Sunda. Seperti
Bekasi, Sunda Betawi, dan bahasa Cirebon
Sunda-Jawa, dan daerah lainnya, dengan kekhasannya masing-masing, dan budayanya
tersendiri, dan perbedaan tersebut Kang Aher persilahkan untuk bisa menjadi
muatan lokal tersendiri.
Sementara itu Kepala Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, Ida Hernida dalam Kongres Basa
Sunda X mengatakan bahwa jangan sampai bahasa sunda bernasib sama dengan
beberapa daerah lain yang dikabarkan punah.

“Kami mencoba merumuskan,
menggali, memelihara, dan mengembangkan bahasa daerah sebagai akar kebudayaan
daerah,” Kata Ibu Ida. Perjuangan melestarikan bahasa ini sudah dilakukan sejak
lama. Hampir 100 tahun atau tepatnya 92 tahun, kongres ini rutin digelar. Para
pejuang bahasa memulai Kongres Bahasa Sunda pertama kali diera colonial , yakni
di Bandung pada 12-14 Oktober 1924, dengan penyelenggara Java Institut yang
dipimpin Prof Husen Djayadiningrat.
Semangat itu pula yang tetap
berkobar hingga saat ini. Bersama LBBS, Disparbud Jawa Barat tetap semangat
menjaga bahasa Sunda seperti tertuang dalam agenda Kongres Basa Sunda , yaitu
pada 1954, 1956, 1958, 1961, 1987, 1993, 2001, 2005 dan 2011. Pada 2016 kongres
didukung penuh oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat Bapak Wahyu Iskandar menambahkan,
kongres ini melibatkan pengarang, seniman, serta para guru Bahasa Sunda se-Jawa
Barat. “ Ada 20 pemakalah tampil menyampaikan gagasannya sesuai kompetensinya.
Para pemakalah tersebut dibagi dalam sidang pleno dan parallel,” katanya menjelaskan.(dh)
MUTLAK DIPERLUKAN REVISI
KURIKULUM BAHASA SUNDA
KUNINGAN-NJ : Salah satu Nara
Sumber yang hadir dalam Kongres Bahasa Sunda X adalah penulis Bahasa Sunda
Darpan.
Darpan, memaparkan dihadapan
peserta kongres menegaskan kurikulum Bahasa Sunda baik untuk jenjang SD maupun pendidikan
menengah, telah mengalami revisi .Kurikulum Bahasa Sunda masuk dalam pengajaran
muatan lokal yang mandiri. Dalam
pelaksanaanya, Jabar sudah konsisten menerapkan pengajaran Bahasa Daerah
di sekolah-sekolah.
Dalam konteks revisi Kurikulum
Bahasa Sunda mutlak diperlukan karena penerapan kurikulum Bahasa Sunda dari
awal pemberlakuannya sejalan dengan perkembangan kurikulum nasional, dengan
adanya perubahan kurikulum Nasional dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
maka kurikulum Bahasa Sunda juga harus direvisi, ujar Darpan.
Adapun hal yang menjadi bahan
revisi, ungkap Dapan sudah direkomendasikan pihak Disdik Jabar, yang dikukuhkan
dalam kegiatan. Yakni secara
administrative, Kurikulum Bahasa Sunda dikembangkan dengan berpedoman pada
rambu-rambu dan aturan yang diterbitkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Perkembangan Kurikulum Bahasa
Sunda harus disesuaikan dengan kondisi perkembangan jaman serta sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Kurikulum Bahasa Sunda dalam penerapan disekolah harus
mempunyai target disemua jenjang pendidikan dan disesuaikan dengan standar
kompetensi lulusan yang ditetapkan Kemendikbud.
Untuk target jenjang pendidikan,
pelaksanaan pengajaran Bahasa Sunda siswa harus menguasai penguasaan kosa kata
serta keterampilan lainnya baik dari penguasaan berbahasa Sunda maupun
kemampuan penulis. Dalam pengajaran Bahasa Sunda , harus bisa mengukur berapa
jumlah buku yang sudah dibaca oleh siswa (dh)
EJAHAN BAHASA SUNDA HARUS SEGERA
DIREVISI
KUNINGAN - NJ : Banyak
Instansi baik swasta maupun pemerintahan yang salah
menerapkan ejahan bahasa Sunda. Misalnya penulisan “Wilujeng Sumping” (Selamat
dating) ditulis “Wilujeung Sumping”.
Hal itu disampaikan Yayat
Sudaryat, guru besar bahasa Sunda dari Universitas Pendidikan (UPI) yang
menyampaikan prasarannya dimateri pertama dalam Kongres Basa Sunda X.
Kondisi salah penulisan tersebut
merupakan realita di masyarakat yang memprihatinkan. Padahal kesalahan dalam
menerapkan kata yang sudah familiar seperti wilujeng. Artinya di masyarakat,
termasuk dilingkungan pemerintahan Jawa Barat masih belum bisa membedakan mana
kata yang harus menggunakan hurup e, é dan eu.
Hal tersebut diperparah dengan
kesalahan penulisan ejahan pada kata serapan. Taufik Faturohman, pengusaha penerbitan
buku Sunda, menemukan kenyataan di lapangan banyak masyarakat yang menggunakan
kata serapan dari bahasa asing dengan penulisan ejahan bahasa Sunda yang
serampangan. Misalnya Fried Chicken ditulis dengan fred ciken.
Realita tersebut menunjukan masyarakat
bingung dengan banyak istilah asing, lalu ketika ingin menuliskan dalam ejahan
bahasa Sunda. Karena itu Taufik mengusulkan agar buku ejahan bahasa Sunda yang
ada sekarang ini yang sudah ketinggalan untuk direvisi, dengan cara membentuk
tim kajian untuk membuat pedoman ejahan bahasa Sunda.
Yayat pun setuju karena
perkembangan bahasa Sunda sekarang ini sudah demikian cepat akibat pengaruh
teknologi. Misalnya yntuk kata “selfie” Yayat mengusulkan dengan kata swa poto,
facebook dengan pesbuk. (dh)
PERLUNYA MENGGALAKAN KEGIATAN SASTRA SUNDA DI PESANTREN
KUNINGAN-NJ ; Salah satu
Narasumber yang hadir dalam acara Kongres Basa Sunda X adalah Acep Zamzam Noor.
Dalam materinya beliau menyampaikan “Pesantrén, Basa, Jeung Sastra Sunda”.
Beliau menyampaikan bahwa
Pesantren merupakan satu sub-kultur yang unik. Pesantren mempunyai aturan
sendiri, selain dijalankan oleh santrinya juga oleh masyarakat disekitarnya.
Pesantren juga mempunyai hirarki khusus yang tidak sama dengan hirarki formal
kekuasaan pada umunya. Dalam bidang kepemimpinan kyai lah yang punya otoritas
tertinggi. Walaupu disana ada juga ketua yayasan atau kepala sekolah misalnya.
Oleh sebab itu keberlangsungan kesenian dan sastra di satu pesantren tergantung
sekali pada otoritas pemimpin yang tertinggi. Oleh sebab itu kebijakan pemimpin
juga tergantung pada sejauhmana pemimpin
mempunyai kesenangan pada kesenian dan budaya.
Pengajaran sastra dipesantren
modern tidak jauh berbeda dibandungkan dengan pengajaran sastra
disekolah-sekolah umum. Sastra cuma diajarkan sesuai dengan kurikulum dari
pemerintah. Sedangkan di pesantren tradisional pelajaran bahasa dan sastra
sunda malah tidak diajarkan sama sekali.
Menggalakan kegiatan sastra di
pesantren nampaknya sudah sangat mendesak, terutama untuk ikut mengembalikan
keberadaan pesantren yang kini semakin goyah oleh gempuran pihak luar.
Perkembangan terakhir bagi saya
sangat memprihatinkan, terutama dengan masuknya para politisi atau
broker-broker politik ke pesantren dan menjadikan lemaga keagamaan tersebut
sebagai pasar untuk jual beli dukungannya.
Ritual-ritual khas pesantren
seperti istighosah kini sudah berubah jauh maknanya, menjadi sekedar alat untuk
mengumpulkan massa, yang ujung-ujungnya adalah pernyataan dukungan kepada
seseorang atau partai tertentu.
Maka dalam kondisi sosial dan
politik semacam ini, rasanya mendesak sekali untuk kembali menggalakan kegiatan
sastra dipesantren. “ Saya yakin sastra atau kesenian pada umumnya masih
mengandung nilai-nilai yang bisa menyentuh bagian-bagian terhalus kemanusiaan”.
Ungkap Zamzam Noor. (Dh)