Kamis, 19 Januari 2017

KONGRES BASA SUNDA X : Merenahkeun Basa Jeung Sastra Sunda di Balaréa

0 comments
KUNINGAN - NJ : Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Provinsi Jawa Barat , yang bekerjasama dengan Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS), menggerlar Kongres Basa Sunda x , bertempat di Hotel Horison Tirta Sanita, Kabupaten Kuningan pada 30 Nopember hingga 2 Desember 2016.
Kongres tersebut dibuka oleh Gubernur Jawa Barat , Ahmad Heryawan. Harapan Gubernur Jawa Barat dari diadakannya kongres ini adalah dapat menghasilkan kesepakatan yang menjadi kebijakandalam hal melestarikan bahasa dan sastra Sunda.
“Bahasa Inggris sebagai bahasa global, perlu, Bahasa Indonesia, bahasa persatuan, bagus, kemudian bahasa daerah, Bahasa Sunda sebagai identitas kita, juga wajib dilestarikan, harus seimbang eksistensinya.” Ungkap Gubernur Jawa Barat atau yang akrab disebut Kang Aher. Karena Bahasa sebagai salah satu elemen kebudayaan lokal merupakan salah satu penyumbang kekayaan budaya nasional. Maka kelestarianntya wajib dijaga.
Kang Aher juga mengatakan bahwa peran bahasa Sunda sebagai bahasa Ibu di Jawa Barat saat ini memang kalah dengan bahasa nasional. Banyak kekhawatiran di masyarakat dalam penggunaan bahasa Sunda, diantaranya khawatir terhadap kesulitan berkomunikasi pada pergaulan dan  kemajuan jaman bila menggunakan bahasa daerah.
Padahal kata Kang Aher, tidaklah masalah bila kita menggnakan bahasa lain, baik Internasional, ataupun Nasional karena semuanya mempunyai porsi. Kapan harus menggunakan bahasa global, bahasa nasional dan bahasa daerah, setiap individu dapat menempatkan dirinya sesuai dengan lingkungannya.
“Dalam pendidikan, Bahasa Sunda Muata Lokal (MULOK) yang seharusnya ada. Karena bahasa adalah tanda sebuah kawasan, tanda sebuah nilai, tanda sebuah kearifan lokal, Bahasa Sunda di kawasan Jawa Barat harus ada,” tegas Kang Aher.
Kang Aher memahami sejumlah daerah perbatasan memiliki budaya berbeda, yang tak murni Sunda. Seperti Bekasi, Sunda  Betawi, dan bahasa Cirebon Sunda-Jawa, dan daerah lainnya, dengan kekhasannya masing-masing, dan budayanya tersendiri, dan perbedaan tersebut Kang Aher persilahkan untuk bisa menjadi muatan lokal tersendiri.
Sementara itu Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, Ida Hernida dalam Kongres Basa Sunda X mengatakan bahwa jangan sampai bahasa sunda bernasib sama dengan beberapa daerah lain yang dikabarkan punah.
Menurut Ibu Ida, acara tetap lima tahunan ini mendiskusikan serta membahas berbagai masalah dalam perkembangan bahasa, sastra, dan aksara sunda. Tahun ini, pihaknya mencoba menempakan bahasa dan sastra kepada khalayak yang juga dituangkan dalam tema Kongres Bahasa Sunda X “Merenahkeun Basa Jeung Sastra Sunda di Balaréa”.
“Kami mencoba merumuskan, menggali, memelihara, dan mengembangkan bahasa daerah sebagai akar kebudayaan daerah,” Kata Ibu Ida. Perjuangan melestarikan bahasa ini sudah dilakukan sejak lama. Hampir 100 tahun atau tepatnya 92 tahun, kongres ini rutin digelar. Para pejuang bahasa memulai Kongres Bahasa Sunda pertama kali diera colonial , yakni di Bandung pada 12-14 Oktober 1924, dengan penyelenggara Java Institut yang dipimpin Prof Husen Djayadiningrat.
Semangat itu pula yang tetap berkobar hingga saat ini. Bersama LBBS, Disparbud Jawa Barat tetap semangat menjaga bahasa Sunda seperti tertuang dalam agenda Kongres Basa Sunda , yaitu pada 1954, 1956, 1958, 1961, 1987, 1993, 2001, 2005 dan 2011. Pada 2016 kongres didukung penuh oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat Bapak Wahyu Iskandar menambahkan, kongres ini melibatkan pengarang, seniman, serta para guru Bahasa Sunda se-Jawa Barat. “ Ada 20 pemakalah tampil menyampaikan gagasannya sesuai kompetensinya. Para pemakalah tersebut dibagi dalam sidang pleno dan parallel,” katanya menjelaskan.(dh)

MUTLAK DIPERLUKAN REVISI KURIKULUM BAHASA SUNDA

KUNINGAN-NJ : Salah satu Nara Sumber yang hadir dalam Kongres Bahasa Sunda X adalah penulis Bahasa Sunda Darpan.
Darpan, memaparkan dihadapan peserta kongres menegaskan kurikulum Bahasa Sunda  baik untuk jenjang SD maupun pendidikan menengah, telah mengalami revisi .Kurikulum Bahasa Sunda masuk dalam pengajaran muatan lokal yang mandiri. Dalam  pelaksanaanya, Jabar sudah konsisten menerapkan pengajaran Bahasa Daerah di sekolah-sekolah.
Dalam konteks revisi Kurikulum Bahasa Sunda mutlak diperlukan karena penerapan kurikulum Bahasa Sunda dari awal pemberlakuannya sejalan dengan perkembangan kurikulum nasional, dengan adanya perubahan kurikulum Nasional dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan maka kurikulum Bahasa Sunda juga harus direvisi,  ujar Darpan.
Adapun hal yang menjadi bahan revisi, ungkap Dapan sudah direkomendasikan pihak Disdik Jabar, yang dikukuhkan dalam kegiatan.  Yakni secara administrative, Kurikulum Bahasa Sunda dikembangkan dengan berpedoman pada rambu-rambu dan aturan yang diterbitkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Perkembangan Kurikulum Bahasa Sunda harus disesuaikan dengan kondisi perkembangan jaman serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kurikulum Bahasa Sunda dalam penerapan disekolah harus mempunyai target disemua jenjang pendidikan dan disesuaikan dengan standar kompetensi lulusan yang ditetapkan Kemendikbud.
Untuk target jenjang pendidikan, pelaksanaan pengajaran Bahasa Sunda siswa harus menguasai penguasaan kosa kata serta keterampilan lainnya baik dari penguasaan berbahasa Sunda maupun kemampuan penulis. Dalam pengajaran Bahasa Sunda , harus bisa mengukur berapa jumlah buku yang sudah dibaca oleh siswa (dh)

EJAHAN BAHASA SUNDA HARUS SEGERA DIREVISI

KUNINGAN - NJ : Banyak Instansi  baik      swasta maupun pemerintahan yang salah menerapkan ejahan bahasa Sunda. Misalnya penulisan “Wilujeng Sumping” (Selamat dating) ditulis “Wilujeung Sumping”.
Hal itu disampaikan Yayat Sudaryat, guru besar bahasa Sunda dari Universitas Pendidikan (UPI) yang menyampaikan prasarannya dimateri pertama dalam Kongres Basa Sunda X.
Kondisi salah penulisan tersebut merupakan realita di masyarakat yang memprihatinkan. Padahal kesalahan dalam menerapkan kata yang sudah familiar seperti wilujeng. Artinya di masyarakat, termasuk dilingkungan pemerintahan Jawa Barat masih belum bisa membedakan mana kata yang harus menggunakan hurup e, é dan eu.
Hal tersebut diperparah dengan kesalahan penulisan ejahan pada kata serapan. Taufik Faturohman, pengusaha penerbitan buku Sunda, menemukan kenyataan di lapangan banyak masyarakat yang menggunakan kata serapan dari bahasa asing dengan penulisan ejahan bahasa Sunda yang serampangan. Misalnya Fried Chicken ditulis dengan fred ciken.
Realita tersebut menunjukan masyarakat bingung dengan banyak istilah asing, lalu ketika ingin menuliskan dalam ejahan bahasa Sunda. Karena itu Taufik mengusulkan agar buku ejahan bahasa Sunda yang ada sekarang ini yang sudah ketinggalan untuk direvisi, dengan cara membentuk tim kajian untuk membuat pedoman ejahan bahasa Sunda.
Yayat pun setuju karena perkembangan bahasa Sunda sekarang ini sudah demikian cepat akibat pengaruh teknologi. Misalnya yntuk kata “selfie” Yayat mengusulkan dengan kata swa poto, facebook dengan pesbuk. (dh)

PERLUNYA MENGGALAKAN KEGIATAN SASTRA SUNDA DI PESANTREN

KUNINGAN-NJ ; Salah satu Narasumber yang hadir dalam acara Kongres Basa Sunda X adalah Acep Zamzam Noor. Dalam materinya beliau menyampaikan “Pesantrén, Basa, Jeung Sastra Sunda”.
Beliau menyampaikan bahwa Pesantren merupakan satu sub-kultur yang unik. Pesantren mempunyai aturan sendiri, selain dijalankan oleh santrinya juga oleh masyarakat disekitarnya. Pesantren juga mempunyai hirarki khusus yang tidak sama dengan hirarki formal kekuasaan pada umunya. Dalam bidang kepemimpinan kyai lah yang punya otoritas tertinggi. Walaupu disana ada juga ketua yayasan atau kepala sekolah misalnya. Oleh sebab itu keberlangsungan kesenian dan sastra di satu pesantren tergantung sekali pada otoritas pemimpin yang tertinggi. Oleh sebab itu kebijakan pemimpin juga tergantung  pada sejauhmana pemimpin mempunyai kesenangan pada kesenian dan budaya.
Pengajaran sastra dipesantren modern tidak jauh berbeda dibandungkan dengan pengajaran sastra disekolah-sekolah umum. Sastra cuma diajarkan sesuai dengan kurikulum dari pemerintah. Sedangkan di pesantren tradisional pelajaran bahasa dan sastra sunda malah tidak diajarkan sama sekali.
Menggalakan kegiatan sastra di pesantren nampaknya sudah sangat mendesak, terutama untuk ikut mengembalikan keberadaan pesantren yang kini semakin goyah oleh gempuran pihak luar.
Perkembangan terakhir bagi saya sangat memprihatinkan, terutama dengan masuknya para politisi atau broker-broker politik ke pesantren dan menjadikan lemaga keagamaan tersebut sebagai pasar untuk jual beli dukungannya.
Ritual-ritual khas pesantren seperti istighosah kini sudah berubah jauh maknanya, menjadi sekedar alat untuk mengumpulkan massa, yang ujung-ujungnya adalah pernyataan dukungan kepada seseorang atau partai tertentu.

Maka dalam kondisi sosial dan politik semacam ini, rasanya mendesak sekali untuk kembali menggalakan kegiatan sastra dipesantren. “ Saya yakin sastra atau kesenian pada umumnya masih mengandung nilai-nilai yang bisa menyentuh bagian-bagian terhalus kemanusiaan”. Ungkap Zamzam Noor. (Dh)