Senin, 19 Januari 2015

Mengenal Kampung Adat Cireundeu di Cimahi

0 comments



Cireundeu berasal dari nama “pohon reundeu”, karena sebelumnya di kampung ini banyak sekali populasi pohon reundeu. pohon reundeu itu sendiri ialah pohon untuk bahan obat herbal.  Maka dari itu kampung ini di sebut Kampung Cireundeu. Kampung Adat Cireundeu terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Terdiri dari 50 kepala keluarga atau 800 jiwa, yang sebagia besar bermata pencaharian bertani ketela. Kampung Adat Cireundeu sendiri memiliki luas 64 ha terdiri dari 60 ha untuk pertanian dan 4 ha untuk pemukiman. Sebagian besar penduduknya memeluk dan memegang teguh kepercayaan  Sunda Wiwitan hingga saat ini. Selalu konsisten dalam menjalankan ajaran kepercayaan serta terus melestarikan budaya dan adat istiadat yang telah turun-temurun dari nenek moyang mereka. Maka pemerintah menetapkan Kampung Adat Cireundeu sebagai kampung adat yang sejajar dengan Kampung Naga (Tasikmalaya), Kaepuhan Cipta Gelar (Banten, Kidul, Sukabumi), Kampung Dukuh (Garut), Kampung Urug (Bogor), Kampung Mahmud (Bandung), dan kampung adat lainnya.

Masyarakat adat Cireundeu sangat memegang teguh kepercayaannya, kebudayaan serta adat istiadat mereka. Mereka memiliki prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” arti kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah kita sebagai warga kampung adat memiliki cara, ciri dan keyakinan masing-masing. Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” memiliki arti masyarakat Kampung Adat Cireundeu tidak melawan akan perubahan zaman akan tetapi mengikutinya seperti adanya teknologi, televisi, alat komunikasi berupa hand phone, dan penerangan. Masyarakat ini punya konsep kampung adat yang selalu diingat sejak zaman dulu, yaitu suatu daerah itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
  1. Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk masyarakat adat Cireundeu khususnya.
  2. Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru. Luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar.
Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu. Biasanya ditanami oleh jagung, kacang tanah, singkon atau ketela, dan umbi-umbian.

Kepercayaan Masyarakat

Kepercayaan masyarakat kampung Cireundeu berawal dari jaran Madrais ini di bawa oleh Pangeran Madrais pada tahun 1918 ke Kampung Cireundeu yang mengajarkan falsafah dan ajaran moral tentang bagaimana membawa diri dalam kehidupan. Hinggga saat ini masyarakat adat Cireudeu masih teguh memeluk ajaran tersebut meskipun telah berpuluh-puluh tahun, mereka salalu taat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Agama Djawa Sunda (ADS) nama lain dari ajaran Madrais ini merupakan kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Cigugur, Kabupaten Kuningan. Abdul Rozak seorang peneliti kepercayaan sunda, menyatakan bahwa agama ini ialah bagian dari agama Buhun. Agam Djawa Sunda (ADS) atau Sunda Wiwitan awal berkembang di Cireundeu adalah setelah pertemuan H. Ali kakek dari Abah Emen yang sekarang menjabat sebagai Ketua Adat atau Sesepuh ini dengan Pangeran Madrais pada tahun 1930-an. Pada tahun 1938 Pangeran Madrais pernah sempat tinggal menetap di Kampung Adat Cireundeu.
Pangeran Madrais yang biasa dipanggil Kiai Madrais adalah keturunan Kesultanan Gebang, yaitu sebuah kesultanan di wilayah Cirebon bagian Timur. Ketika pemerintah Hindia-Belanda menyerang kesultanan Gebang, Pangeran Madrais diungsikan ke daerah Cigugur, Kuningan. Pangeran Madrais juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibassa yang dibesarkan dalam tradisi Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritual. Bahkan Pangeran Madrais ini pernah mendirikan pesantren sebagai pusat ajaran agama Islam. Namun kemudian Pangeran Madrais mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi masyarakat sunda agraris. Menurut masyarakat adat Cireundeu yang mempunyai dua pantangan, sebagai berikut:
  1. Jangan memakan keringat orang lain, ini berarti kita tidak boleh memakan hak orang lain seperti merampas, merampok, mencuri atau menyakiti orang lain.
  2. Tidak boleh memaksa orang lain untuk menganut aliran kepercayaan yang mereka peluk.
Sedangkan hal-hal yang harus dilakukan, yaitu:
  1. Saur kudu dibubut (bercerita/ berbicara harus hati-hati dan harus pada tempat yang sesuai).
  2. Basa kedah dihampelas (berbicara dengan baik dan sopan).
  3. Gotong royong.
  4. Toleransi agama.

Keadaan Sosial

Masyarakat Kampung Adat Cireundeu memiliki keadaan sosial yang terbuka dengan masyarakat di luar kampung. Terbukti dari sistem kekerabatan atau sistem perkawinan dan mata pencaharian masyarakat Kampung Adat Cireundeu sebagian besar bercocok tanam. Kebanyakan masyarakat Cireundeu tidak suka  merantau atau berpisah dengan orang-orang sekerabatnya. Selain itu, pola pemukiman pada masyarakat adat Cireundeu memiliki pintu samping  yang harus menghadap ke arah timur, ini bertujuan supaya cahaya matahari masuk kedalam rumah. Keadaan sosial ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu:
1. Sistem Kekerabatan
Sistem keluarga atau kekerabatan dalam suku Sunda bersifat birateral yaitu garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dalam suku Sunda sangat mempengaruhi dalam adat istiadat, dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukan hubungan kekerabatan. Contohnya, pertama, saudara yang berhubungan untuk generasi tujuh ke bawah atau vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut/ piut, bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gatungsiwur. Kedua, saudara yang  berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak dari paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara dari piut. Ketiga saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak dari kakak, keponakan anak dari adik, dan seterusnya. Adapula istilah sistem kekerabatan lainnya berdasarkan ego, contohnya Ibu dapat disebut Ema, Ma. Sedangkan Bapak disebut Bapa, Apa, Pa. untuk Kakak aki-laki disebut Akang, kang dan untuk Kakak perempuan disebut Ceu, Eceu. Sistem kekerabatan ini merupakan simbol dari tali silaturahmi khas Sunda (pancakaki) ini sesuai dengan ajaran agama yang mengajarkan umatnya untuk menyebarkan keselamatan. Silaturahim juga merupakan salah satu penentu masuk surga dan terciptanya keharmonisan interaksi.
2. Mata Pencaharian Masyarakat
Mayoritas penduduk Kampung Adat Cireundeu bermata pencaharian bertani ketela dan umbi-umbian. Supaya setiap bulan dapat memanen ketela, maka pola tanam disesuaikan dengan usai panen. Setiap masyarakat memiliki 3 hingga 5 petak kebun ketela yang berbeda-beda masa tanamnya. Setiap petak kebun dibuat berbeda masa tanamnya, sehingga pada tiap petaknya akan berbeda masa panennya. Maka sepanjang tahun ladang mereka selalu menghasilkan ketela. Masyarakat Kampung Cireundeu memanfaatkan ketela mulai dari akarnya hingga daunnya, seperti akarnya dapat diolah menjadi rasi (beras singkong), ranggening, opak, cimpring, peyeum atau tape, dan aneka kue berbahan dasar ketela. Batangnya dapat dimanfaatkan menjadi bibit, daunya dapat di jadikan lalapan atau disayur juga dapat dijadikan makanan ternak. Terakhir kulitnya dapat dibuat menjadi makanan olahan, biasanya dijadikan sayur lodeh atau dendeng kulit ketela. Selain untuk dikonsumsi sendiri hasilnya juga dapat dijual pada wisatawan sebagai buah tangan.



Oleh-Oleh Khas Cireundeu

Masyarakat Kampung Cireundeu memanfaatkan ketela mulai dari akarnya hingga daunnya, seperti akarnya dapat diolah menjadi rasi (beras singkong), ranggening, opak, cimpring, peyeum atau tape, dan aneka kue berbahan dasar ketela. Batangnya dapat dimanfaatkan menjadi bibit, daunya dapat di jadikan lalapan atau disayur juga dapat dijadikan makanan ternak. Terakhir kulitnya dapat dibuat menjadi makanan olahan, biasanya dijadikan sayur lodeh atau dendeng kulit ketela. Selain untuk dikonsumsi sendiri hasilnya juga dapat dijual pada wisatawan sebagai buah tangan.



Aksesibilitas

Aksesibilitas dapat di tempuh sekitar 1 jam 30 menit dari alun-alun Kota Cimahi, sedangkan dari alun-alun Bandung bisa menghabiskan waktu tempuh 2 jam. Berikut ini angkutan umum yang dapat digunakan dari alun-alun Kota Cimahi, yaitu:
  1. Naik angkutan umum jurusan Cimahi-Leuwi Panjang atau Cimahi-Stasiun Hall, kemudian turun di bawah jembatan Cimindi atau pertigaan Cibeureum.
  2. Lanjut dengan naik angkutan warna hijau-kuning dengan jurusan Cimindi-Cipatik turun di bunderan Leuwigajah.
  3. Kemudian naik angkutan berwarna biru langit dengan jurusan Cimahi-Leuwigajah-Cangkorah turun di pertigaan ke arah Cireundeu.
  4. Terakhir, naik angkutan motor (ojeg) hingga pintu gerbang Kampung Adat Cireundeu.
Sedangkan dari arah Bandung dapat menggunakan angkutan umum Stasiun Hall-Cimahi, turun di pertigaan Cibeureum dan naik angkutan yang serupa seperti di atas.
Sumber : infocmh.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar