Kamis, 19 Januari 2017

KEPALA DESA DUKUHMAJA : Melestarikan Budaya Nyuguh

0 comments

KUNINGAN_NJ : Siapapun yang khusyuk mengetuk pintu dengan kalimah-Nya, ia akan datang menaungi tiap-tiap nurani yang saleh dan menebarkan karomah bagi keagungan hidup bagi para kekasihnya, keberkahan mengalir sepanjang masa. Itulah fenomena yang dirasakan saat Desa Dukuhmaja, Kecamatan Luragung, Kabupaten Kuningan menggelar kembali Hajat Bumi dalam ritual “nyuguh” yang telah hampir empat tahun tidak pernah dilaksanakan lagi.
Menurut Taswin Kepala Desa Dukuhmaja Nyuguh kembali dilaksanakan atas desakan warga desa yang telah menjadi tradisi turun temurun. Dan, Ritual Nyuguh ini biasa dilakukan pada Bulan Maulud pada Jum'at pertama, yang tahun ini jatuh pada tanggal 2 Desember lalu.
“Alhamdulillah, berkat bantuan semua pihak, terutama masyarakat Desa Dukuhmaja sendiri, hajat bumi yang  di implementasikan dalam ritual nyuguh, telah berhasil dilaksanakan dengan lancar,” ujar Taswin.
Hajat bumi yang digelar cukup semarak ini dihadiri langsung oleh Heri dari Bakorwil Tiga Wilayah Kuningan yang mewakili Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan. Dan juga Kabid Kebudayaan Provinsi Jawa Barat yang mewakili Kadisparbud Provinsi yang tidak dapat hadir karena jadwalnya yang padat. Setelah menutup acara Kongres Bahasa Sunda, beliau harus langsung ke Tasikmalaya untuk menghadiri acara yang tidak bisa ditinggalkan. Sayangnya Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan,Tedi Sumirat tidak turut menghadiri acara tersebut. Padahal setelah acara penutupan Kongres Bahasa Sunda, ia telah berjanji untuk langsung meluncur ke lokasi hajat bumi bersama Wahyu Rahmat dari Disparbud Provinsi.
RIWAYAT DAN SEJARAH
Menurut cerita lisan, asal mula terjadinya ritual nyuguh diawali kedatangan 42 orang prajurit dari Kerjaan Pajajaran ke Desa Luragung. Eyang Suramanggala bertanya maksud dan tujuan kedatangan 42 prajurit kerajaan Pajajaran tersebut. Pemimpin atau komandan prajurit yang bernama Si Gentong menjawab , bahwa maksud dan tujuan kedatangan kami adalah sebagai utusan Kerajaan Pajajaran untuk membawa Eyang Suramanggala guna dijadikan panglima perang di Kerajaan Pajajaran. Eyang Suramanggala menolak tawaran raja tersebut, dan akhirnya seluruh prajurit memaksa dengan cara kekerasan. Dengan kesaktian yang luar biasa dimiliki Eyang Suramanggala, hanya dengan menggoyangkan badan dan bersin membuat ke 42 prajurit terpental, terlempar jauh dan ada yang nyangkut di pepohonan. Begitu prajurit sadar seolah melihat Eyang Suramanggala kaki kirinya menginjak Gunung Ciremai dan kaki kanannya menginjak Gunung Slamet. Melihat kesaktian Eyang Suramnggala, para prajurit takluk dan akan mengabdi kepada Eyang. Akan tetapi Eyang Suramanggala menyuruh dua orang untuk kembali ke Kerajaan Pajajaran melaporkan bahwa 40 orang lainnya akan mengabdi di Luragung/Eyang Suramanggala.
Kepada 40 orang prajurit Eyang bertanya, apa saja makanan di Keraton Pajajaran. Kepala prajurit menjawab bahwa makanan keraton adalah ; bubur blonyot dari tepung beras, ikan jahan (ikan laut) sambal serai, sayur talas bolang, jaburan (goreng tepung beras) menginang. Setelah mengetahui makanan para prajuritnya, Eyang berkata makan saudara saudara sekalian akan saya jamin, akan tetapi kalau nanti saya meninggal dunia makan akan dijamin oleh keturunan dari Pakuan. Dan tugas saudara menunggu makam putri Pajajaran di Cireundeu secara bergantian. Selain itu, Eyang memberikan wasiat : “ Barang siapa saja yang menjadi kuwu di Luragung setiap bulan Maulud pada Jum’at pertama diwajibkan mengadakan sesajen/mengadakan upacara nyuguh dan yang memasak masakan tersebut/sesajen harus turunan asli dari saya (Eyang Suramanggala)”. Upacara ritual memberikan sesajen/nyuguh  bubur blonyot dari tepung beras, ikan jahan (ikan laut) sambal serai, sayur talas bolang, jaburan (goreng tepung beras) menginang untuk 40 orang prajurit. Menurut informasi para prajurit tersebut sering menjelma menjadi harimau. Pada acara ritual nyuguh selain memberikan sesajen juga disertai pencucian benda-benda pusaka berupa golok, keris dan tumbak. Oleh karena itu, upacara nyuguh dilaksanakan setiap tahun pada bulan Maulid hari jum’at pertama di Cireundeu Desa Dukuhmaja Kecamatan Luragung, dengan lokasi areal situs Buyut Ratu Pakuan.
Namun pada saat ini ritual tersebut hampir hilang, karena adanya perbedaan pemahaman dengan para tokoh agama  dan kurangnya perhatian dari pemerintah daerah setempat. Padahal Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengeluarkan Perda Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya Jawa Barat, yang mana arah kebijakan tersebut melestarikan warisan budaya daerah sebagai jati diri masyarakat Jawa Barat dan aset nasional. Juga dalam upaya meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Jawa Barat melalui warisan Budaya serta tentunya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempromosikan tinggalan karya budaya bangsa kepada masyarakat internasional.(dh)