JELEKONG adalah wajah lain Kabupaten Bandung, Jawa
Barat. Perkampungan yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Kota Bandung
ini berubah menjadi kampung budaya dan wisata setelah hampir empat
dekade memproduksi gambar atau lukisan secara massal.
Warga Jelekong mengangkat lukisan dari atas genteng rumah karena gerimis. ”Buru, euy,
hujan gede,” kata Bambang Hermawan (29), perajin lukisan sekaligus
pemilik studio dan galeri lukisan, kepada para pekerjanya di Jelekong.
Mereka lantas menumpuk begitu saja belasan lukisan di pojok studio, yang
tak lain berupa bangunan seluas 28 meter persegi, berdinding bilik
bambu, berlantai semen, dan beratap genteng.Gerimis itu berubah jadi hujan lebat. Tempiasnya masuk ke studio yang beberapa bagian atapnya memang bocor. Beberapa lukisan basah terkena tempias hujan, tetapi Bambang dan para pekerjanya seolah tak hirau. ”Paling basah sedikit. Kalau rusak, ya, tinggal dicat lagi,” kata Iwan Setiawan (34), salah satu pekerja Bambang.
Mereka lantas melanjutkan mengerjakan lukisan. Di samping Iwan, berderet belasan lukisan ikan mas koi setengah jadi. Warna latas belakang dan pola ikan sudah terbentuk, tinggal memberi motif ikan dan sentuhan akhir.
Iwan mengisahkan, dia dulu belajar mewarnai dari lukisan-lukisan setengah jadi para gurunya. Para guru itu yang nanti memberi arahan sembari memperbaiki lukisan hasil sentuhan para pembelajar. ”Prinsipnya, tidak ada yang tidak bisa melukis dan tidak ada lukisan yang terbuang,” kata Iwan.
Iwan belajar melukis sejak usia 12 tahun. Bambang dan para pemuda di Jelekong juga belajar melukis sejak usia belasan tahun. Tradisi ini ditularkan mendiang Odin Rohidin yang pada 1965 baru pulang dari Jakarta setelah belajar melukis dari seorang kerabatnya. Odin ingin agar pemuda Jelekong mandiri. Obsesi itu seolah menjadi nyata. Tak ada pemuda Jelekong menjadi mengganggur, kecuali malas belajar melukis.
Biasanya, mereka mengawali dengan belajar melukis pemandangan yang nyaris seragam, yakni hamparan padi menguning yang dibelah jalan setapak mengarah ke gunung di ujung sana. Kadang ditambah beberapa petani tengah memanen padi. Lukisan pemandangan ini menjadi ciri khas Jelekong hingga awal 2000-an.
Selama 10 tahun terakhir, tren berubah. Warga Jelekong beramai-ramai melukis ikan koi. Di galeri-galeri sepanjang jalan di Jelekong, lukisan ikan koi dalam berbagai variasi dipajang di bagian depan. ”Tren ini semata bergantung permintaan konsumen. Sekarang yang laris lukisan ikan koi. Mungkin tiga tahun lagi permintaan mereka berubah, kami juga harus ikut,” kata Agus Ruhimat (42), pemilik galeri Al-Farrizy, Jelekong, yang menampung hasil kerja warga Jelekong.
Beberapa perajin melukis kuda berlarian, suasana pasar, bunga, atau kapal-kapal di tepi laut. Rata-rata lukisan itu tanpa menyebutkan nama perajinnya.
Produksi massal
Warga Jelekong memproduksi lukisan secara massal. Proses ini memunculkan perdebatan layak tidaknya mereka disebut sebagai pelukis. Warga Jelekong tak keberatan disebut sebagai perajin karena memang kerjanya nyaris tanpa menunggu inspirasi sebagaimana para pelukis.
Dalam sepekan, seorang perajin menghasilkan 15 sampai 20 lukisan. Biasanya lukisan itu serupa. Koi satu, koi semua. Bunga satu, bunga semua. Sore itu, Bambang menghasilkan dua lukisan bunga dalam vas hanya dalam tempo dua jam dengan teknik palet.
Semua bahan, seperti kanvas, cat, dan kuas, disediakan pemilik studio. Perajin tinggal mengerjakan pesanan pemilik studio atau galeri. Satu lukisan dijual Rp 40.000 sampai Rp 200.000, sementara perajin memperoleh upah Rp 10.000 sampai Rp 30.000 per lukisan.
Meskipun terbilang murah, para perajin merasa perekonomian mereka sangat tertolong oleh bisnis lukisan ini. Dalam sebulan, mereka dapat memperoleh upah Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta. Rata-rata istri para perajin ini bekerja sebagai buruh pabrik atau petani. ”Ditambah penghasilan istri, sudah cukup rezeki kami,” kata Iwan.
Menurut data Kelurahan Jelekong, jumlah perajin lukisan di Jelekong mencapai 800 orang. Mereka tersebar di RW 001 dan RW 014. Di kelurahan ini juga terdapat 12 galeri dan 120 studio, tempat para perajin berkarya sekaligus tempat para remaja belajar menjadi perajin lukisan.
Lukisan itu ditampung para bandar atau pemilik galeri untuk didistribusikan ke sejumlah daerah, seperti Palembang, Medan, Pekanbaru, Bali, dan Surabaya. Bahkan, sampai mancanegara, seperti Singapura, Malaysia, Brunei, Amerika, Jepang, dan Eropa. Pemilik galeri seperti Agus mempunyai agen khusus di Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam sebulan, lukisannya laku hingga 600 lembar.
Lukisan hasil perajin Jelekong juga dijual di Jalan Braga, Bandung, dengan variasi harga Rp 200.000 sampai Rp 1,5 juta per lembar. Siang itu, tiga pelancong dari Malaysia menawar beberapa lukisan. Setelah harga sesuai, mereka memboyong 11 lembar lukisan. ”Lukisan di sini murah sekali, tetapi bagus-bagus,” kata Linda (35), warga Kuala Lumpur yang membeli lukisan untuk suaminya.
Meskipun masih ada yang mendebat apakah hasil kerja perajin di Jelekong itu lukisan atau gambar, mereka tak peduli. Yang penting kerja. Bagi mereka, membuat lukisan tak ubahnya bekerja di pabrik, di sawah, atau di kantor. Kalau tidak kerja, ya, tidak ada upah. Apa pun, lukisan Jelekong telah memperkuat perekonomian warga. (Mohammad Hilmi Faiq)